Wacana Kemasan Polos Rokok: Ancaman Serius Bagi Industri Tembakau Legal dan Pendapatan Negara

Jakarta, 27 April 2025 – Wacana pemerintah untuk menerapkan kebijakan kemasan polos pada produk tembakau menuai kekhawatiran besar dari kalangan pengusaha. Bukannya menekan konsumsi rokok, kebijakan ini justru diprediksi akan memicu peningkatan signifikan peredaran rokok ilegal dan berpotensi menimbulkan kerugian ekonomi negara yang sangat besar. Hal ini disampaikan oleh Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Perindustrian, Saleh Husin, dalam keterangan tertulisnya.

Saleh Husin memperingatkan bahwa pengalaman negara-negara lain yang telah menerapkan kebijakan serupa, seperti Australia, Prancis, dan Inggris, menunjukkan hasil yang kontraproduktif. Di Australia, misalnya, penerapan kemasan polos justru diiringi peningkatan peredaran rokok ilegal hingga mencapai 381 ton pada tahun 2017, meningkat drastis dari 182 ton pada tahun 2014. Di Prancis, penjualan rokok bahkan naik 3% pada tahun pertama penerapan kebijakan tersebut. Sementara di Inggris, penurunan prevalensi perokok hanya mencapai angka yang sangat minim, yaitu 0,4% dalam kurun waktu tiga tahun berdasarkan data ONS tahun 2020.

"Kegagalan kebijakan kemasan polos di negara-negara lain seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah," tegas Saleh. Ia menekankan bahwa kebijakan ini bukan hanya merugikan produsen rokok legal, tetapi juga konsumen yang akan kesulitan membedakan produk legal dan ilegal. Kemasan polos akan menghilangkan ciri khas merek, membuka peluang bagi produsen rokok ilegal untuk dengan mudah memasarkan produknya yang bebas dari beban cukai dan pajak.

Dampaknya, lanjut Saleh, akan sangat signifikan terhadap industri tembakau nasional. Industri ini merupakan salah satu penyumbang terbesar penerimaan negara melalui cukai hasil tembakau (CHT). Pada tahun 2024 saja, CHT telah menyumbang Rp 216,9 triliun kepada pendapatan negara. Namun, dengan maraknya rokok ilegal akibat kebijakan kemasan polos, potensi penerimaan negara tersebut terancam hilang.

Data dari Indodata Research Center semakin memperkuat kekhawatiran tersebut. Survei mereka menunjukkan pertumbuhan rokok ilegal mencapai 46,95% pada tahun 2024, dengan potensi kerugian negara mencapai Rp 96 triliun per tahun. Penerapan kebijakan kemasan polos, yang menghilangkan identitas merek, hanya akan memperparah situasi ini dan memperluas ruang gerak bagi peredaran rokok ilegal.

Wacana Kemasan Polos Rokok: Ancaman Serius Bagi Industri Tembakau Legal dan Pendapatan Negara

Saleh juga menyoroti dampak kebijakan ini terhadap persaingan pasar. Rokok ilegal, yang dijual dengan harga jauh lebih murah karena bebas cukai dan pajak, akan semakin kompetitif dan mampu menguasai pasar. Hal ini akan berdampak negatif, tidak hanya bagi produsen rokok besar, tetapi juga pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) yang sangat bergantung pada identitas merek dan kemasan sebagai daya saing.

"UKM di industri tembakau sangat rentan terhadap kebijakan ini," ungkap Saleh. "Mereka tidak memiliki modal yang cukup untuk bersaing dengan produsen rokok ilegal yang tidak terbebani biaya produksi dan pajak. Akibatnya, pasar akan semakin terkonsentrasi pada pelaku ilegal, yang tidak memberikan kontribusi apa pun bagi perekonomian negara."

Kekhawatiran tersebut diperkuat oleh temuan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) yang memperkirakan Indonesia berpotensi kehilangan pendapatan lebih dari Rp 300 triliun jika kebijakan kemasan polos tetap diterapkan. Bahkan, INDEF memprediksi potensi kebocoran fiskal akibat lemahnya pengawasan mencapai Rp 106,6 triliun.

Saleh menekankan pentingnya pemerintah untuk menyusun kebijakan secara transparan dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan di industri tembakau. Ia menyayangkan jika kebijakan ini hanya bersifat formalitas tanpa mempertimbangkan dampaknya secara komprehensif. "Semoga ini menjadi bahan evaluasi bersama agar ke depan kebijakan disusun lebih terbuka dan mempertimbangkan seluruh aspek secara proporsional," harapnya.

Senada dengan Saleh, Wakil Menteri Hukum Edward Omar Sharif Hiariej mengingatkan pentingnya kehati-hatian dalam merancang kebijakan. Ia menekankan perlunya harmonisasi dan sinkronisasi antar-regulasi agar tidak terjadi benturan.

"Jangan sampai kita membuat satu aturan, tetapi menabrak aturan yang lain," ujar Edward. "Kebijakan kemasan polos yang mengaburkan merek rokok bisa berbenturan dengan aturan perlindungan merek yang terdaftar di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual. Jika administrasinya tidak bisa ditegakkan, baru masuk ke ranah pidana."

Kesimpulannya, wacana kemasan polos rokok menimbulkan kekhawatiran serius akan dampak negatifnya terhadap industri tembakau legal, pendapatan negara, dan persaingan usaha yang sehat. Data dan pengalaman negara lain menunjukkan bahwa kebijakan ini justru berpotensi meningkatkan peredaran rokok ilegal dan merugikan perekonomian nasional. Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan kajian yang lebih komprehensif dan melibatkan seluruh stakeholder sebelum mengambil keputusan yang berpotensi menimbulkan kerugian besar bagi negara. Transparansi dan pertimbangan yang matang menjadi kunci agar kebijakan yang diambil benar-benar efektif dan tidak kontraproduktif.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *