Jakarta, 17 Mei 2025 – Upah Minimum Regional (UMR) Jakarta tahun 2025 sebesar Rp 5.396.791, sebuah angka yang naik Rp 329.380 dari tahun sebelumnya. Namun, angka tersebut jauh dari cukup bagi sebagian besar pekerja di ibu kota. Kisah Wins, seorang karyawan swasta yang baru dua bulan bekerja di Jakarta, menjadi gambaran nyata bagaimana perjuangan hidup dengan gaji UMR di kota metropolitan ini.
Wins, yang namanya disamarkan untuk melindungi privasinya, menerima gaji sesuai UMR Jakarta. Meskipun ia enggan secara gamblang menyatakan apakah gajinya cukup atau tidak, uraiannya menggambarkan realita pahit yang dihadapi banyak pekerja di Jakarta. "Tergantung masing-masing," ujarnya saat dihubungi detikcom, "tapi bagi saya, dengan biaya kost, transportasi online, dan kebutuhan lainnya, ya cukup-cukup saja."
Pernyataan "cukup-cukup saja" tersebut menyimpan makna yang dalam. Ia menggambarkan perjuangan keseharian seorang pekerja yang harus cermat mengatur keuangan agar kebutuhan pokok terpenuhi. Menabung, bagi Wins, bukanlah prioritas utama. Ia hanya menabung jika ada sisa uang setelah seluruh pengeluaran dipenuhi. "Untuk tabungan, aku biasanya tidak mewajibkan menabung. Jadi, tabunganku tergantung sisa uang dari gajian. Setiap bulan sudah akumulasi uangnya, misal untuk bayar kost, untuk transportasi, dan untuk makan. Lalu kebutuhan kost juga sudah terpenuhi seperti sabun, skincare, dan lainnya. Kalau ada sisa, aku tabung," jelasnya.
Beban terbesar Wins terletak pada biaya tempat tinggal. Di Jakarta, biaya hidup, terutama sewa tempat tinggal, sangat tinggi. Wins menyewa kamar kost berukuran 3×4 meter persegi di kawasan Jakarta dengan biaya sewa mencapai Rp 2,3 juta per bulan. Angka ini belum termasuk biaya listrik, yang menambah beban pengeluarannya. Dengan kata lain, hampir separuh dari gajinya habis hanya untuk menyewa tempat tinggal yang relatif kecil. "Menurut aku, sewa kost di Jakarta dengan luasan yang amat sangat jauh (lebih kecil) jika dibandingkan dengan kost di luar kota sana itu mahal sekali dan menguras gaji," keluhnya.
Situasi ini memaksa Wins untuk mencari penghasilan tambahan. Ia menjalankan bisnis online sampingan, namun ia menegaskan bahwa bisnis tersebut bukanlah solusi utama untuk menutupi kekurangan gajinya. "Untuk kerja tambahan, ada. Cuma itu bukan prioritas dan bukan salah satu cara buat menutupi kekurangan aku di gaji. Aku pakai uang dari kerja sampingan itu untuk menambah uang makan saja. Kerja sampingannya itu online, jadi masih bisa di-handle by phone. Jadi, aku tidak perlu atur jadwal," tuturnya.
Kisah Wins mencerminkan tantangan yang dihadapi banyak pekerja bergaji UMR di Jakarta. Mereka harus pintar mengatur keuangan, bahkan rela bekerja keras dengan penghasilan tambahan hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar. Prioritas utama mereka bukan menabung untuk masa depan, melainkan untuk bertahan hidup di tengah hiruk-pikuk ibu kota. Kehidupan mereka diwarnai oleh perhitungan cermat setiap rupiah yang didapatkan, dengan harapan agar setiap bulan dapat menutup seluruh pengeluaran tanpa harus berhutang.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang kecukupan UMR Jakarta. Apakah angka Rp 5.396.791 benar-benar mampu menjamin kehidupan layak bagi pekerja di Jakarta, dengan mempertimbangkan biaya hidup yang tinggi, terutama biaya sewa tempat tinggal dan transportasi? Jawabannya, berdasarkan pengalaman Wins, tampaknya masih jauh dari kata cukup.
Lebih jauh lagi, kisah Wins mengungkap realita kesenjangan ekonomi yang semakin menganga di Jakarta. Di satu sisi, kota ini menjadi pusat perekonomian Indonesia, dengan pembangunan infrastruktur yang pesat dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Di sisi lain, banyak warganya, khususnya pekerja bergaji UMR, masih berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan dasar, bahkan tanpa mampu menabung untuk masa depan.
Pemerintah dan pemangku kepentingan terkait perlu memperhatikan kondisi ini secara serius. Kebijakan yang lebih komprehensif dan berpihak kepada pekerja, seperti pengaturan harga sewa tempat tinggal yang lebih terjangkau, peningkatan akses transportasi publik yang efisien dan murah, serta peninjauan berkala UMR yang lebih realistis dengan mempertimbangkan biaya hidup di Jakarta, sangat dibutuhkan.
Kisah Wins bukanlah kasus yang berdiri sendiri. Ia mewakili ribuan, bahkan mungkin jutaan, pekerja di Jakarta yang setiap hari berjuang untuk bertahan hidup dengan gaji UMR. Ceritanya menjadi pengingat bagi kita semua tentang pentingnya keadilan ekonomi dan perlunya upaya bersama untuk menciptakan kehidupan yang lebih layak bagi seluruh warga Jakarta. Tanpa perhatian serius dari berbagai pihak, kesenjangan ekonomi akan terus melebar dan menghambat pembangunan berkelanjutan di kota ini. Perjuangan Wins, dan jutaan pekerja lainnya, harus menjadi pendorong perubahan yang nyata dan berdampak bagi kesejahteraan masyarakat.