Jakarta, 14 April 2025 – Penghentian operasional Tupperware Indonesia yang mengejutkan, efektif sejak 31 Januari 2025 lalu, menimbulkan pertanyaan besar terkait nasib ribuan tenaga kerja yang selama ini menggantungkan hidup pada perusahaan produsen wadah penyimpanan makanan asal Amerika Serikat tersebut. Meskipun Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) menyatakan belum menerima laporan resmi terkait Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), isu ini tetap menjadi sorotan tajam mengingat potensi dampak sosial ekonomi yang signifikan.
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Kemnaker, Indah Anggoro Putri, dalam keterangannya kepada detikcom Minggu (13/4/2025), menegaskan bahwa hingga saat ini belum ada laporan PHK massal dari Tupperware Indonesia yang masuk ke instansi yang dipimpinnya. Ia menjelaskan bahwa tidak semua PHK wajib dilaporkan ke Kemnaker, terutama jika kesepakatan pemutusan hubungan kerja telah tercapai antara perusahaan dan karyawan secara damai.
"Tidak ada laporan (PHK Tupperware Indonesia)," tegas Indah. Ia menambahkan, "Mungkin sepakat PHK-nya. Tidak semua harus ngadu ke Kemnaker kalau PHK disepakati kedua belah pihak (pekerja dan pengusaha)."
Pernyataan ini memicu sejumlah pertanyaan kritis. Apakah keheningan dari pihak pekerja dan minimnya laporan ke Kemnaker mengindikasikan adanya kesepakatan damai yang terselubung? Ataukah justru mencerminkan adanya kendala akses informasi dan perlindungan hukum bagi para pekerja yang terdampak? Kejelasan mengenai jumlah pekerja yang terkena dampak dan mekanisme penyelesaian PHK menjadi krusial untuk memastikan kepatuhan Tupperware terhadap peraturan ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia.
Di sisi lain, Presiden Partai Buruh sekaligus Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, memberikan perspektif berbeda. Ia menyorot model bisnis Tupperware yang berbasis Multi Level Marketing (MLM), mengatakan hal ini menyulitkan pendataan pekerja yang terdampak.
"Tidak ada infonya (jumlah buruh yang terdampak penghentian operasi Tupperware Indonesia) karena penjualannya sistem MLM," ungkap Said Iqbal. Pernyataan ini mengisyaratkan kemungkinan besar keberadaan pekerja Tupperware yang tidak terikat kontrak kerja formal, sehingga menyulitkan proses pelaporan dan pengawasan dari pihak berwenang.
Penggunaan sistem MLM oleh Tupperware Indonesia selama ini memang menjadi perdebatan tersendiri. Sistem ini, yang mengandalkan jaringan penjualan langsung melalui individu-individu, seringkali menimbulkan kerancuan dalam hal status pekerja, hak-hak ketenagakerjaan, dan perlindungan hukum. Hal ini membuat pengawasan dan penegakan hukum menjadi lebih kompleks.
Pengumuman resmi penutupan Tupperware Indonesia pada 31 Januari 2025 lalu, yang disampaikan melalui akun Instagram resmi @tupperwareid, hanya menyebutkan penghentian operasional bisnis sebagai bagian dari langkah global perusahaan. Pengumuman tersebut terkesan minim informasi dan tidak memberikan detail mengenai rencana perusahaan terkait nasib para pekerjanya. Kurangnya transparansi ini semakin memperkuat kekhawatiran akan potensi pelanggaran hak-hak pekerja.
Ketiadaan informasi yang transparan dan proaktif dari pihak Tupperware Indonesia menimbulkan sejumlah pertanyaan yang mendesak untuk dijawab. Berapa jumlah pekerja yang terkena dampak PHK? Apakah perusahaan telah memberikan kompensasi yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku? Apakah ada upaya dari pihak Tupperware untuk memfasilitasi transisi karier bagi para pekerja yang terkena PHK? Dan yang terpenting, apakah Kemnaker akan melakukan investigasi independen untuk memastikan tidak ada pelanggaran hak-hak pekerja dalam proses penghentian operasional Tupperware Indonesia?
Kejadian ini menjadi pengingat penting akan perlunya perlindungan yang lebih kuat bagi pekerja di sektor informal, termasuk mereka yang bekerja dalam sistem MLM. Regulasi yang lebih jelas dan pengawasan yang lebih ketat diperlukan untuk mencegah eksploitasi dan memastikan kepatuhan perusahaan terhadap standar ketenagakerjaan yang adil dan manusiawi.
Minimnya laporan PHK ke Kemnaker juga perlu ditelusuri lebih lanjut. Apakah hal ini menunjukkan efektivitas mekanisme pelaporan yang ada? Atau justru menandakan adanya kendala akses informasi dan dukungan hukum bagi para pekerja? Kemnaker perlu meningkatkan sosialisasi dan aksesibilitas layanan pengaduan untuk memastikan pekerja memiliki saluran yang jelas dan mudah diakses untuk melaporkan potensi pelanggaran hak-hak mereka.
Ke depan, kasus Tupperware Indonesia ini diharapkan dapat menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah dan perusahaan-perusahaan lain untuk lebih memperhatikan aspek ketenagakerjaan dan kesejahteraan pekerja dalam setiap pengambilan keputusan bisnis. Transparansi, akuntabilitas, dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan menjadi kunci utama dalam menciptakan iklim kerja yang adil dan berkelanjutan. Ketiadaan laporan resmi PHK dari Tupperware Indonesia hingga saat ini tetap menjadi misteri yang perlu diungkap untuk memastikan tidak ada pihak yang dirugikan dan hak-hak pekerja terlindungi sepenuhnya. Peran aktif Kemnaker dan lembaga terkait lainnya sangat dibutuhkan untuk menelusuri lebih jauh kasus ini dan mencegah terulangnya kejadian serupa di masa mendatang.