Jakarta, 12 April 2025 – Perubahan arah kebijakan luar negeri Amerika Serikat (AS) di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump kembali menjadi sorotan. Setelah berbulan-bulan menerapkan kebijakan proteksionis yang ditandai dengan perang tarif dan retorika keras terhadap sekutu-sekutunya, pemerintahan Trump kini tampak berupaya memperbaiki hubungan tersebut, didorong oleh kebutuhan mendesak untuk menghadapi meningkatnya tekanan dalam pertikaian dagang dengan China. Perang dagang yang tampaknya tak kunjung dimenangkan oleh Trump telah memaksa Washington untuk mencari dukungan internasional guna melawan dominasi ekonomi China di bawah kepemimpinan Presiden Xi Jinping.
Informasi yang dihimpun dari CNN menunjukkan adanya pergeseran signifikan dalam strategi AS. Menteri Keuangan Scott Bessent mengindikasikan akan segera digelarnya serangkaian perundingan dagang antara AS dengan sejumlah negara sekutu, termasuk Jepang, Korea Selatan, India, dan Vietnam. Bessent menekankan bahwa tujuan utama perundingan ini adalah untuk menciptakan front persatuan yang mampu menyeimbangkan neraca perdagangan dengan China, secara efektif mengepung pengaruh ekonomi Beijing.
Pernyataan Bessent ini menimbulkan pertanyaan kritis mengenai konsistensi kebijakan luar negeri Trump. Juru Bicara Gedung Putih, Karoline Leavitt, ditanya mengenai alasan negara-negara sekutu akan membantu AS melawan China, mengingat rekam jejak Trump dalam memperlakukan sekutu dan lawan dengan pendekatan yang serupa. Leavitt merespon dengan menekankan ketergantungan ekonomi negara-negara tersebut pada pasar AS. "Anda harus berbicara dengan sekutu kita yang menghubungi kita. Telepon terus berdering. Mereka telah menjelaskan dengan sangat jelas bahwa mereka membutuhkan Amerika Serikat, mereka membutuhkan pasar kita, mereka membutuhkan basis konsumen kita," ujar Leavitt.
Namun, argumen Leavitt tersebut mengabaikan realitas kompleks hubungan AS dengan sekutunya. Sejak kembali menjabat, Trump secara konsisten menunjukkan sikap yang merugikan hubungan dengan negara-negara demokrasi. Pernyataan-pernyataan yang meremehkan Uni Eropa, seperti yang dilontarkan Trump sendiri – "Saya selalu mengatakan bahwa Uni Eropa dibentuk untuk benar-benar merusak Amerika Serikat dalam perdagangan" – menunjukkan kurangnya komitmen terhadap kerja sama multilateral. Sikap anti-Eropa ini bukan hanya berasal dari Trump. Wakil Presiden JD Vance juga telah secara terbuka mengekspresikan ketidaksukaannya terhadap Uni Eropa, baik dalam forum Keamanan Munich maupun dalam diskusi internal pemerintahan.
Lebih jauh lagi, kebencian Trump terhadap negara-negara di belahan bumi Barat menimbulkan ancaman serius terhadap kekuatan ekonomi regional. Aliansi ekonomi Amerika Utara yang selama ini dianggap sebagai benteng pertahanan potensial melawan China kini berada dalam bahaya. Ancaman Trump untuk mengambil alih Kanada dan penerapan tarif tinggi terhadap Meksiko telah merusak hubungan tradisional antara ketiga negara. Perdana Menteri Kanada yang baru, Mark Carney, bahkan telah memperingatkan berakhirnya hubungan tradisional antara Kanada dan Washington.
Paradoks ini menjadi inti dari situasi saat ini. Gagasan untuk membangun front persatuan sekutu untuk melawan praktik perdagangan China memang terdengar masuk akal, namun kredibilitas AS dalam memimpin upaya tersebut sangat dipertanyakan. Bertahun-tahun kebijakan proteksionis dan retorika yang memecah belah telah merusak kepercayaan sekutu terhadap AS. Keinginan untuk mendapatkan dukungan internasional dalam menghadapi China kini harus dibayar mahal dengan memperbaiki hubungan yang telah dirusak oleh kebijakan Trump sendiri.
Situasi ini juga menimbulkan pertanyaan mengenai strategi jangka panjang AS dalam menghadapi ambisi ekonomi China. Apakah upaya untuk membentuk front persatuan sekutu ini merupakan strategi jangka panjang yang terencana, atau hanya taktik sementara untuk mengatasi tekanan dalam perang dagang? Keberhasilan upaya ini sangat bergantung pada kemampuan Trump untuk meyakinkan sekutu bahwa AS telah bertobat dari kebijakan proteksionisnya dan berkomitmen untuk membangun hubungan yang lebih adil dan saling menguntungkan.
Kepercayaan yang telah hilang tidak mudah dipulihkan. Sekutu AS akan mempertimbangkan dengan cermat tawaran kerja sama ini, menimbang manfaat ekonomi jangka pendek dengan konsekuensi jangka panjang dari bersekutu dengan pemerintahan yang dikenal karena ketidakstabilan dan kebijakan yang tidak terduga. Perundingan yang akan datang akan menjadi ujian penting bagi kemampuan Trump untuk meyakinkan sekutu dan membangun kembali kepercayaan yang telah lama terkikis. Keberhasilan atau kegagalannya akan menentukan tidak hanya nasib perang dagang dengan China, tetapi juga masa depan tatanan ekonomi global. Perubahan arah yang mendadak ini menunjukkan betapa besarnya tantangan yang dihadapi AS dalam menghadapi kebangkitan ekonomi China, dan betapa pentingnya peran sekutu dalam strategi tersebut. Namun, jalan menuju kerja sama yang efektif masih panjang dan penuh tantangan, mengingat sejarah kebijakan yang penuh gejolak di bawah pemerintahan Trump.