Jakarta, 14 Mei 2025 – Pemerintah Indonesia tengah gencar memberantas maraknya truk Over Dimension Over Loading (ODOL), atau yang lebih dikenal sebagai truk obesitas, di jalan raya. Upaya ini dilandasi oleh keprihatinan atas tingginya angka kecelakaan lalu lintas yang disebabkan oleh kendaraan bermuatan berlebih, serta kerusakan infrastruktur yang menimbulkan kerugian negara yang signifikan. Target ambisius "zero ODOL" pun tengah digodok, menandai komitmen kuat pemerintah untuk menciptakan sistem transportasi darat yang lebih aman dan efisien. Namun, di balik upaya pemerintah tersebut, terkuak alasan kompleks yang mendasari masih merajalelanya truk obesitas di jalanan, sebuah permasalahan yang tak semata-mata terletak pada ulah para pengusaha truk.
Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo), sebagai perwakilan dari pelaku usaha di sektor ini, mengungkapkan peran penting "sisi hulu" – para pemilik barang – dalam fenomena truk obesitas. Sekretaris Jenderal Aptrindo, Agus Pratiknyo, dalam wawancara eksklusif dengan detikcom, menjelaskan bahwa pengusaha truk seringkali berada dalam posisi yang sulit. Mereka, menurut Agus, hanya bertindak sebagai kurir yang menjalankan perintah pengangkutan sesuai dengan pesanan dari pemilik barang. Tekanan untuk menerima muatan berlebih, kata Agus, datang dari tuntutan untuk menekan biaya operasional.
"Permasalahan ini berakar pada tekanan dari sisi hulu," tegas Agus. "Pemilik barang kerap menekan ongkos kirim. Pertanyaannya kemudian, mengapa kami harus menerima pesanan dengan muatan berlebih? Jawabannya sederhana: untuk menutup biaya operasional."
Agus merinci lebih lanjut bagaimana tekanan biaya operasional memaksa pengusaha truk untuk menerima pesanan yang melanggar aturan. Biaya bahan bakar minyak (BBM), upah sopir, dan biaya perawatan kendaraan merupakan beban utama yang harus ditutup setiap bulannya. Untuk mencapai titik impas, pengusaha truk seringkali terpaksa mengangkut muatan melebihi kapasitas yang diizinkan, demi menutup selisih antara pendapatan dan pengeluaran.
"Kami harus mencari muatan yang bisa menutup ongkos operasional," jelas Agus. "Biaya BBM dan upah sopir harus terpenuhi terlebih dahulu. Sisa pendapatan baru bisa dihitung setelah itu. Para pengusaha truk melihat ini sebagai akumulasi pendapatan bulanan. Jika pendapatan tidak cukup menutup biaya, maka terpaksa menerima muatan berlebih."
Agus mengakui bahwa masih ada pengusaha truk yang menerima pesanan dengan muatan berlebih, meskipun menyadari risikonya. Berat muatan menjadi faktor penentu biaya ekspedisi, dan dalam persaingan pasar yang kompetitif, menawarkan harga yang lebih rendah seringkali menjadi strategi untuk mendapatkan order. Hal ini menciptakan dilema bagi pengusaha truk yang terjepit di antara tuntutan pemilik barang dan aturan pemerintah.
Aptrindo, menurut Agus, sepenuhnya mendukung kebijakan pemerintah untuk mencapai "zero ODOL". Namun, implementasinya perlu mempertimbangkan dampaknya terhadap industri angkutan barang. Penerapan aturan yang ketat berpotensi mengurangi jumlah pesanan bagi pengusaha truk yang patuh pada aturan. Akibatnya, mereka bisa kehilangan pendapatan dan terancam gulung tikar, sementara truk-truk yang berani melanggar aturan akan tetap beroperasi dan mengambil alih pasar.
"Situasinya menjadi tidak adil," ungkap Agus. "Pengusaha truk yang patuh aturan bisa tertinggal karena harga jasa angkutnya lebih tinggi. Sementara itu, pengusaha truk yang melanggar aturan bisa tetap beroperasi karena menawarkan harga yang lebih murah. Ini menciptakan persaingan yang tidak sehat."
Agus menekankan bahwa industri angkutan barang merupakan pasar bebas, dan para pengusaha truk hanya menjalankan bisnis sesuai dengan permintaan pasar. Mereka berharap pemerintah tidak hanya fokus pada penegakan hukum, tetapi juga memberikan solusi yang komprehensif untuk mengatasi permasalahan di hulu. Solusi tersebut, menurut Agus, harus melibatkan seluruh pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, pemilik barang, dan pengusaha truk itu sendiri.
Permasalahan truk obesitas bukanlah sekadar masalah pelanggaran lalu lintas. Ini adalah masalah sistemik yang melibatkan berbagai aspek, mulai dari regulasi, penegakan hukum, hingga perilaku ekonomi para pelaku usaha. Pemerintah perlu merumuskan strategi yang terintegrasi, tidak hanya dengan meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum, tetapi juga dengan memberikan insentif bagi pengusaha truk yang patuh pada aturan, serta memberikan sanksi yang tegas bagi pemilik barang yang memaksa pengusaha truk untuk melanggar aturan.
Keberhasilan program "zero ODOL" bergantung pada kerjasama semua pihak. Pemerintah perlu menyediakan infrastruktur yang memadai, menetapkan regulasi yang jelas dan terukur, serta memastikan penegakan hukum yang konsisten. Sementara itu, para pemilik barang perlu menyadari tanggung jawab mereka dalam menjaga keselamatan dan keamanan di jalan raya, serta mendukung upaya pemerintah untuk menciptakan sistem transportasi yang lebih baik. Pengusaha truk pun perlu meningkatkan kesadaran akan pentingnya kepatuhan terhadap aturan dan keselamatan berkendara. Hanya dengan kerja sama yang solid, Indonesia dapat mewujudkan cita-cita "zero ODOL" dan menciptakan sistem transportasi darat yang aman, efisien, dan berkelanjutan.