Jakarta, 10 April 2025 – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memperingatkan potensi dampak negatif dari kebijakan tarif resiprokal yang diterapkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump terhadap perekonomian Indonesia. Dalam keterangannya yang dikutip dari Reuters, Sri Mulyani menyatakan bahwa kebijakan tersebut berpotensi memangkas pertumbuhan ekonomi nasional hingga 0,3% hingga 0,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Indonesia sendiri menjadi salah satu negara yang terkena dampak tarif impor sebesar 32%.
Ancaman penurunan pertumbuhan ekonomi ini muncul di tengah target pemerintah untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2% pada tahun 2025, angka yang sudah lebih tinggi dari realisasi tahun lalu sebesar 5,03%. Target tersebut pun masih jauh dari ambisi Presiden Prabowo Subianto yang menargetkan pertumbuhan ekonomi mencapai 8% pada tahun 2029.
Sri Mulyani menekankan urgensi situasi ini. "Situasi terkini yang diperkirakan, sebelum jeda, dapat mengurangi potensi pertumbuhan kita antara 0,3% hingga 0,5% dari PDB," tegasnya. Namun, sebuah celah harapan muncul dengan diberikannya jeda 90 hari oleh pemerintah AS untuk penerapan tarif tersebut. Jeda ini, menurut Sri Mulyani, memberikan ruang bagi Indonesia untuk bernegosiasi dan mencari solusi guna meminimalisir dampak negatif kebijakan proteksionis tersebut terhadap perekonomian nasional.
"Jeda 90 hari dalam penerapan pungutan tersebut memberikan waktu untuk membahas solusi," tambahnya. Pemerintah Indonesia berencana memanfaatkan waktu tersebut secara maksimal. Strategi yang akan dijalankan tidak hanya bersifat bilateral, namun juga melibatkan kerja sama regional.
Sri Mulyani menjelaskan bahwa Indonesia akan memanfaatkan periode 90 hari ini untuk membangun kerangka kerja sama yang kuat, khususnya dengan negara-negara ASEAN. Tujuannya adalah untuk meningkatkan ketahanan ekonomi regional di tengah gejolak ekonomi global yang dipicu oleh kebijakan proteksionis AS. Upaya ini dinilai krusial mengingat AS merupakan pasar ekspor terbesar ketiga Indonesia, dengan nilai ekspor mencapai US$ 26,3 miliar pada tahun lalu. Tarif resiprokal sebesar 32% jelas akan memberikan tekanan signifikan terhadap kinerja ekspor Indonesia.
"Di tengah tekanan tarif sepihak dari AS, Indonesia tidak hanya merespons secara bilateral, tetapi juga memilih membangun solidaritas regional sebagai upaya memperkuat posisi tawar kolektif," ungkap Sri Mulyani. Kerja sama regional ini akan difokuskan pada beberapa agenda konkret, antara lain:
- Penguatan rantai pasok regional: Diversifikasi pasar dan sumber pasokan akan mengurangi ketergantungan pada AS dan meningkatkan ketahanan ekonomi regional.
- Harmonisasi standar industri: Standarisasi akan memudahkan perdagangan intra-ASEAN dan meningkatkan daya saing produk-produk regional di pasar internasional.
- Perluasan pasar intra-ASEAN: Meningkatkan perdagangan antar negara ASEAN akan mengurangi dampak negatif dari penurunan ekspor ke AS.
Selain agenda regional, Indonesia juga akan mempertimbangkan tawaran peningkatan impor dari AS dengan proses yang lebih mudah, serta potensi pemotongan pajak sebagai bagian dari strategi negosiasi bilateral. Namun, Sri Mulyani menekankan pentingnya agar kerja sama regional tidak hanya berhenti pada retorika diplomatik, melainkan diwujudkan dalam agenda konkret dan terukur.
Dampak potensial dari penurunan pertumbuhan ekonomi ini mengharuskan pemerintah untuk lebih berhati-hati dalam mengelola keuangan negara. Sri Mulyani menegaskan perlunya efisiensi dan efektivitas pengeluaran pemerintah. "Kita harus terus bersikap sangat hati-hati. Pengeluaran harus dibuat lebih efisien, tepat sasaran dan efektif dalam mendukung pertumbuhan di sisi moneter," tandasnya.
Situasi ini menyoroti tantangan yang dihadapi Indonesia dalam menghadapi kebijakan proteksionis negara-negara besar. Meskipun target pertumbuhan ekonomi 2025 masih dalam jangkauan, potensi penurunan 0,3% hingga 0,5% akibat tarif resiprokal AS merupakan ancaman serius yang membutuhkan respon cepat dan terukur dari pemerintah. Strategi yang diusung, yang menggabungkan pendekatan bilateral dan regional, menunjukkan komitmen pemerintah untuk melindungi perekonomian nasional dan memperkuat posisi Indonesia di tengah dinamika ekonomi global yang semakin kompleks. Keberhasilan strategi ini akan sangat bergantung pada efektifitas negosiasi dan kemampuan Indonesia untuk membangun kerja sama yang kuat dengan negara-negara ASEAN. Ke depan, pemantauan ketat terhadap perkembangan situasi dan adaptasi strategi yang fleksibel akan menjadi kunci keberhasilan dalam menghadapi tantangan ini.