Tangis Pedagang Pasar Indramayu: 15 Kali Pungutan, Rp30.000 Sehari, Siapa Bertanggung Jawab?

Indramayu, Jawa Barat – Geger! Sebuah video viral di media sosial memperlihatkan seorang pedagang di Pasar Blok Rengas, Jatibarang, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, yang tengah menangis tersedu-sedu. Air mata itu bukan sekadar luapan emosi, melainkan cerminan beban ekonomi yang begitu berat dipikulnya. Pedagang tersebut, dalam video yang diunggah oleh akun @cir***** pada Sabtu (17/5/2025), menunjukkan setumpuk karcis retribusi yang harus dibayarkan setiap harinya. Jumlahnya? Mencengangkan. Sebanyak 15 karcis, masing-masing senilai Rp 2.000, mengakibatkan pedagang tersebut harus merogoh kocek hingga Rp 30.000 setiap hari hanya untuk biaya-biaya yang belum tentu jelas peruntukannya.

Video tersebut sontak memicu gelombang kecaman dari berbagai kalangan. Publik merasa geram melihat praktik pungutan liar yang diduga dilakukan oleh oknum pengelola pasar dan organisasi masyarakat (ormas) terhadap pedagang kecil yang sudah berjuang keras untuk menghidupi keluarganya. Dalam karcis yang ditunjukkan, tertera berbagai macam pungutan, mulai dari biaya keamanan, kebersihan, hingga operasional pasar. Keberadaan karcis-karcis tersebut seakan menjadi bukti nyata betapa beratnya beban yang ditanggung para pedagang kecil di pasar tersebut.

"Sumbangan pedagang," begitu tertulis dalam karcis tersebut. Namun, kata "sumbangan" yang tertera di karcis tersebut terasa ironis, mengingat sifatnya yang wajib dibayar dan jumlahnya yang sangat memberatkan. Istilah "sumbangan" yang digunakan pun terkesan sebagai upaya untuk mengaburkan praktik pungutan liar yang sebenarnya terjadi. Praktik pungutan yang mencapai 15 kali dalam sehari ini jelas-jelas mencekik para pedagang, yang sebagian besar merupakan pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) yang rawan terdampak tekanan ekonomi.

Tangisan pedagang tersebut menjadi representasi dari keresahan dan keputusasaan yang dialami oleh banyak pedagang kecil lainnya yang mungkin mengalami nasib serupa, namun enggan bersuara karena takut akan intimidasi atau tekanan dari pihak-pihak yang berwenang. Kejadian ini pun menjadi sorotan tajam bagi pemerintah daerah dan aparat penegak hukum untuk segera turun tangan dan menyelidiki kasus ini secara tuntas.

Menanggapi viralnya video tersebut, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI), Mujiburohman, memberikan keterangannya kepada detikcom. Ia menjelaskan bahwa pungutan liar seperti ini sebenarnya jarang terjadi pada pedagang yang berjualan di lapak resmi dalam pasar yang terkelola dengan baik. "Sebenarnya tagihan-tagihan dan atau iuran dari ormas-ormas itu hampir jarang, kecuali pedagang tersebut berada di luar pasar," ujarnya. Mujiburohman menekankan bahwa pedagang yang berjualan di kios resmi di dalam pasar biasanya tidak dikenakan iuran atau pembayaran kepada ormas atau pihak-pihak yang tidak berwenang.

Tangis Pedagang Pasar Indramayu: 15 Kali Pungutan, Rp30.000 Sehari, Siapa Bertanggung Jawab?

Namun, Mujiburohman mengakui bahwa pungutan liar seringkali terjadi pada pedagang yang berjualan secara ilegal, misalnya di trotoar atau fasilitas umum. "Jadi itu yang sebenarnya dimanfaatkan oleh ormas atau oknum-oknum itu untuk kemudian memberikan izin kepada pedagang, terus kemudian dimintain uang keamanan lah, uang kebersihan lah, uang parkir lah," jelasnya. Hal ini menunjukkan adanya celah dan lemahnya pengawasan yang memungkinkan praktik pungutan liar tersebut terjadi.

Lebih lanjut, Mujiburohman menegaskan bahwa jika memang ada kasus preman atau ormas yang memungut iuran kepada pedagang pasar resmi, maka pengelola pasarlah yang harus dievaluasi. "Pasar yang dikelola oleh dinas maupun perusahaan pasar, itu biasanya retribusinya resmi atau iuran, pembayaran-pembayaran itu resmi. Nggak ada kemudian ormas yang masuk. Nah kalau masih ada ormas yang masuk itu berarti pengelolanya perlu ditegur," tegasnya. Pernyataan ini menggarisbawahi pentingnya peran pengelola pasar dalam mencegah dan mengatasi praktik pungutan liar yang merugikan pedagang.

Kejadian di Pasar Blok Rengas ini bukan hanya sekadar kasus pungutan liar biasa. Ini adalah cerminan dari sistem yang bermasalah, di mana pedagang kecil terjepit di antara berbagai macam pungutan yang memberatkan. Ketiadaan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan pasar menjadi salah satu faktor utama yang memungkinkan praktik tersebut terjadi. Pemerintah daerah Kabupaten Indramayu perlu melakukan investigasi menyeluruh untuk mengungkap dalang di balik pungutan liar ini dan menindak tegas para pelakunya.

Selain itu, perlu ada evaluasi menyeluruh terhadap sistem pengelolaan pasar di Kabupaten Indramayu. Sistem retribusi yang transparan dan akuntabel perlu diterapkan untuk mencegah terjadinya pungutan liar di masa mendatang. Penting juga untuk memberikan perlindungan hukum dan edukasi kepada para pedagang agar mereka berani melaporkan praktik-praktik pungutan liar tanpa takut akan intimidasi.

Kasus ini juga menjadi pengingat penting bagi pemerintah untuk terus memperhatikan dan melindungi hak-hak pedagang kecil. Pedagang kecil merupakan pilar penting perekonomian nasional, dan keberlangsungan usaha mereka harus dijaga agar roda perekonomian tetap berjalan dengan baik. Keberadaan mereka tidak boleh terus terbebani oleh praktik-praktik pungutan liar yang merugikan dan tidak manusiawi. Tangisan pedagang di Pasar Blok Rengas harus menjadi momentum bagi pemerintah dan semua pihak terkait untuk berbenah dan menciptakan lingkungan usaha yang lebih adil dan berkelanjutan bagi para pedagang kecil di Indonesia. Ketegasan dan komitmen untuk memberantas praktik pungutan liar menjadi kunci untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif dan melindungi hak-hak para pedagang kecil. Jangan sampai tangisan pedagang ini terulang kembali di pasar-pasar lain di Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *