Jakarta, 15 April 2025 – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan pencairan tunjangan kinerja (tukin) bagi 31.066 dosen di lingkungan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Kepastian ini menyusul terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 19 Tahun 2025 tentang Tunjangan Kinerja Pegawai di Lingkungan Kemendikbudristek, mengakhiri polemik panjang terkait ketimpangan tunjangan antara dosen dan pegawai struktural di kementerian tersebut. Anggaran yang telah disiapkan mencapai Rp 2,66 triliun untuk periode Januari-Desember 2025, termasuk Tunjangan Hari Raya (THR) dan gaji ke-13.
“Walaupun Perpres ini baru terbit April ini, 31.066 dosen tersebut akan menerima tukin mulai 1 Januari 2025. Artinya, mereka akan menerima pembayaran selama 14 bulan: 12 bulan gaji pokok ditambah THR dan gaji ke-13,” tegas Sri Mulyani dalam konferensi pers di Auditorium Graha Diktisaintek, Jakarta Pusat. “Total nilai pembayaran mencapai Rp 2,66 triliun, yang akan dicairkan setelah Kemendikbudristek menerbitkan peraturan menteri terkait teknis pelaksanaannya.”
Ke-31.066 dosen tersebut tersebar di berbagai satuan kerja (Satker) di bawah Kemendikbudristek, meliputi 8.725 dosen di Satker Perguruan Tinggi Negeri (PTN), 16.540 dosen di Satker PTN Badan Layanan Umum (BLU) yang belum menerima remunerasi, dan 5.801 dosen di lembaga layanan Dikti. Selama ini, mereka menerima gaji pokok, tunjangan melekat, dan tunjangan profesi. Dengan adanya Perpres ini, skema penggajian berubah menjadi gaji pokok, tunjangan melekat, dan tukin.
Sri Mulyani menekankan bahwa kebijakan ini bukan sekadar upaya peningkatan kinerja, melainkan juga penegakan prinsip keadilan. Selama ini, terdapat ketimpangan signifikan antara besaran tunjangan profesi yang diterima dosen dengan tukin yang diterima pegawai struktural. Dalam banyak kasus, tunjangan profesi dosen jauh lebih rendah daripada tukin yang diterima pegawai struktural dengan level jabatan yang setara. Ketimpangan inilah yang selama ini memicu keresahan dan demonstrasi dari kalangan dosen.
“Banyak dosen yang merasa dirugikan karena tunjangan profesi mereka jauh lebih kecil dibandingkan tukin yang diterima rekan-rekan mereka di struktur. Ini yang memicu berbagai aksi demonstrasi,” ungkap Sri Mulyani. Ia mencontohkan seorang guru besar atau profesor di PTN Satker yang menerima tunjangan profesi sebesar Rp 6,7 juta, sementara tukin untuk pejabat struktural setingkat eselon II di Kemendikbudristek mencapai Rp 19,28 juta. Dengan Perpres ini, guru besar tersebut tetap menerima tunjangan profesi, dan tambahan tukin yang disesuaikan dengan selisih antara tunjangan profesi dan tukin eselon II. Dengan demikian, mereka mendapatkan tambahan penghasilan signifikan.
Sri Mulyani menjelaskan bahwa selama ini, kenaikan tukin untuk pejabat struktural di Kemendikbudristek terus meningkat sesuai dengan indikator penilaian kinerja dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB). Namun, kenaikan tunjangan profesi dosen tidak secepat kenaikan tukin, sehingga menimbulkan ketimpangan yang semakin melebar dan memicu demonstrasi beberapa waktu lalu.
“Para dosen merasa dirugikan karena kenaikan tunjangan profesi mereka tidak sebanding dengan kenaikan tukin. Mereka merasa menjadi pihak yang dirugikan (worst off), sehingga muncul keresahan dan berujung pada demonstrasi,” jelasnya.
Lebih lanjut, Sri Mulyani menjelaskan sejarah kebijakan penggajian dosen yang selama ini hanya menerima tunjangan profesi, bukan tukin. Sejak tahun 2013, kebijakan tersebut diterapkan, di mana pejabat fungsional dosen tidak mendapatkan tukin, melainkan tunjangan profesi.
“Pada tahun 2013, mungkin besaran tunjangan profesi dan tukin masih relatif sama, atau bahkan tunjangan profesi sedikit lebih tinggi. Namun, kebijakan ini terus berlanjut hingga beberapa kali pergantian nama kementerian,” kata Sri Mulyani. Ia merujuk pada perubahan nama kementerian dari Kemendikbud menjadi Kemendikti, Kemenristekdikti, kembali ke Kemendikbud, dan akhirnya menjadi Kemendikbudristek di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Selama perubahan tersebut, dosen tetap hanya menerima tunjangan profesi, tanpa pernah mendapatkan tukin seperti pegawai struktural lainnya.
“Pada tahun 2018, dengan Perpres 131, Kemenristekdikti melakukan penyesuaian tukin, namun dosen tetap tidak mendapatkannya. Setiap perubahan struktur kementerian, dosen tetap hanya menerima tunjangan profesi. Mereka tidak pernah diperlakukan sama seperti ASN non-dosen yang menerima tukin. Inilah yang kemudian mendorong Presiden Prabowo untuk meminta perbaikan kebijakan ini,” ungkap Sri Mulyani.
Dengan terbitnya Perpres Nomor 19 Tahun 2025, pemerintah berharap dapat menyelesaikan ketimpangan dan ketidakadilan dalam sistem penggajian dosen. Pencairan tukin bagi 31.066 dosen ini diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan dan motivasi kerja para dosen, sekaligus mendukung peningkatan kualitas pendidikan tinggi di Indonesia. Langkah ini juga diharapkan dapat mencegah aksi-aksi demonstrasi serupa di masa mendatang dan menciptakan iklim kerja yang lebih kondusif bagi para pendidik di Indonesia.