Jakarta, 28 April 2025 – Tensi negosiasi kontrak kerja antara serikat pekerja Starbucks dan manajemen perusahaan kembali memanas. Tawaran kenaikan upah tahunan sebesar 2% yang diajukan manajemen ditolak mentah-mentah oleh Workers United, serikat pekerja yang mewakili lebih dari 10.000 barista di seluruh Amerika Serikat. Hasil voting menunjukkan penolakan telak dari para barista, dengan 81% dari 490 barista di 550 toko menolak proposal tersebut. Penolakan ini mengancam jalan buntu negosiasi yang telah berlangsung selama beberapa pekan terakhir.
Menurut pernyataan resmi Workers United yang dikutip dari Reuters, tawaran kenaikan upah 2% dinilai tidak memadai dan gagal memberikan manfaat ekonomi yang komprehensif, terutama terkait dengan perawatan kesehatan. "Tawaran Starbucks saat ini tidak mencapai kesepakatan," tegas serikat pekerja, menekankan ketidakpuasan mereka terhadap proposal manajemen. Kegagalan mencapai kesepakatan ini menjadi pukulan bagi upaya mediasi yang telah dilakukan sejak Februari lalu, setelah negosiasi sebelumnya menemui jalan buntu. Meskipun kedua belah pihak telah mencapai kesepakatan sementara pada beberapa isu kunci, seperti langkah-langkah kesehatan dan keselamatan kerja, namun perbedaan mendasar terkait upah masih menjadi penghalang utama.
Manajemen Starbucks, di sisi lain, berargumen bahwa usulan yang diajukan serikat pekerja tidak lengkap untuk kontrak satu toko, sehingga menghambat proses negosiasi. Pernyataan ini menunjukkan adanya perbedaan persepsi dan prioritas antara kedua pihak. Perusahaan juga menekankan bahwa mereka telah menawarkan kenaikan upah tahunan minimal 2%, di luar upah pokok yang rata-rata mencapai US$19 per jam, atau sekitar US$30 per jam jika dihitung termasuk tunjangan. Angka ini, menurut manajemen, menunjukkan komitmen mereka untuk memberikan kesejahteraan bagi para pekerjanya.
Namun, argumen manajemen tersebut tampaknya tidak cukup meyakinkan serikat pekerja. Dalam memo internal yang beredar, Workers United secara tegas menyatakan bahwa tawaran terbaru dari Starbucks masih jauh dari cukup. Kekecewaan ini semakin diperparah oleh sejarah panjang perjuangan para barista untuk mendapatkan upah dan kondisi kerja yang lebih layak. Aksi mogok kerja besar-besaran yang melibatkan ribuan barista pada bulan Desember 2024 lalu menjadi bukti nyata dari tuntutan yang semakin meningkat.
Aksi mogok kerja selama lima hari tersebut, yang melibatkan sekitar 10.000 barista di berbagai kota besar seperti Los Angeles, Chicago, dan Seattle, menuntut kenaikan upah, perbaikan sistem kepegawaian, dan penyesuaian jadwal kerja yang lebih fleksibel. Aksi ini, yang diklaim Workers United sebagai representasi dari pekerja di 525 toko Starbucks, menunjukkan kekuatan kolektif para barista dalam memperjuangkan hak-hak mereka. Bahkan, serikat pekerja memperkirakan bahwa sekitar 10.000 dari total 10.000 toko yang dikelola perusahaan tidak beroperasi pada hari aksi mogok tersebut. Aksi ini juga terjadi di tengah gelombang aksi industrial di berbagai sektor, seperti otomotif, kedirgantaraan, dan kereta api, yang menunjukkan adanya tren peningkatan tuntutan pekerja untuk mendapatkan kesejahteraan yang lebih baik.
Workers United, dalam keterangannya, menyatakan bahwa aksi mogok kerja dapat meningkat dan meluas ke ratusan toko lainnya di seluruh AS jika tuntutan mereka tidak dipenuhi. Ancaman ini semakin memperkuat posisi tawar serikat pekerja dalam negosiasi. Situasi ini juga diwarnai dengan pencabutan tuntutan hukum yang sebelumnya diajukan oleh kedua belah pihak, menunjukkan adanya upaya untuk menyelesaikan konflik melalui jalur negosiasi. Namun, penolakan terhadap tawaran kenaikan upah 2% menunjukkan bahwa jalan menuju kesepakatan masih panjang dan penuh tantangan.
Kebuntuan negosiasi ini memiliki implikasi yang luas, tidak hanya bagi para barista Starbucks, tetapi juga bagi industri jasa dan gerakan buruh di Amerika Serikat. Keberhasilan Workers United dalam memperjuangkan kenaikan upah yang signifikan dapat menjadi preseden bagi serikat pekerja lainnya dalam menuntut perbaikan kondisi kerja dan kesejahteraan pekerja. Sebaliknya, jika negosiasi berakhir dengan kegagalan, hal ini dapat melemahkan posisi tawar serikat pekerja dan menghambat upaya untuk meningkatkan standar kerja di industri jasa.
Perkembangan selanjutnya dari negosiasi ini akan sangat menentukan masa depan hubungan industrial antara Starbucks dan para pekerjanya. Baik manajemen maupun serikat pekerja perlu menunjukkan komitmen yang lebih kuat untuk mencapai kesepakatan yang adil dan berkelanjutan. Kegagalan mencapai kesepakatan dapat berujung pada konflik yang lebih besar, termasuk potensi aksi mogok kerja yang lebih luas dan berkepanjangan, yang akan berdampak negatif bagi reputasi Starbucks dan operasional bisnisnya. Oleh karena itu, diperlukan upaya maksimal dari kedua belah pihak untuk menemukan titik temu dan menyelesaikan perselisihan ini secara damai dan konstruktif. Perhatian publik dan dukungan dari berbagai pihak akan sangat penting dalam mendorong tercapainya kesepakatan yang adil dan berkelanjutan bagi para barista Starbucks.