Serangan Tarif Trump: Gelombang Kenaikan Harga Kopi Hantam Bisnis Kafe AS

Kebijakan tarif impor yang diberlakukan di era pemerintahan Donald Trump kembali menimbulkan gejolak di sektor ekonomi Amerika Serikat. Kali ini, industri kopi menjadi korban terbaru, dengan lonjakan harga biji kopi impor yang memaksa para pemilik kafe dan toko roti untuk berjuang keras mempertahankan bisnis mereka. Kenaikan harga ini bukan hanya sekadar isu bisnis semata, melainkan juga mencerminkan dampak kebijakan proteksionis terhadap konsumen Amerika yang harus merogoh kocek lebih dalam untuk menikmati secangkir kopi pagi.

Sejak diberlakukannya tarif impor 10% pada awal April 2025 terhadap sebagian besar negara pemasok kopi, harga kopi di AS mengalami kenaikan signifikan. Data Departemen Pertanian AS menunjukkan bahwa negara adidaya ini merupakan importir kopi terbesar kedua dunia, dengan pasokan utama berasal dari negara-negara seperti Brasil dan Kolombia. Ketergantungan AS pada impor kopi ini membuat negara tersebut sangat rentan terhadap fluktuasi harga global, terlebih lagi dengan adanya kebijakan tarif yang menambah beban biaya.

Dampaknya langsung terasa di lapangan. Jorge Prudencio, pemilik Bread Bite Bakery di Washington DC, menjadi salah satu korban kebijakan ini. Distributor kopinya yang berbasis di Kolombia telah menaikkan harga pasca-berlakunya tarif. Prudencio mengungkapkan bahwa pemasoknya telah memperingatkan kenaikan harga lebih lanjut pada pesanan berikutnya. Kondisi ini memaksanya untuk mempertimbangkan menaikkan harga jual produknya agar tetap bisa beroperasi secara menguntungkan. Kecemasan jelas tergambar dalam pernyataan Prudencio: ia khawatir bisnisnya akan terdampak signifikan.

Situasi serupa juga dialami oleh Kamal Mortada, manajer kafe Au Lait. Ia telah menyaksikan dampak kenaikan harga kopi secara bertahap dalam beberapa waktu terakhir, bahkan sebelum tarif baru diberlakukan. Inflasi yang meroket di era pemerintahan Joe Biden sebelumnya telah memperburuk kondisi ini. Pada Maret 2025, harga kopi bubuk mencapai titik tertinggi sepanjang sejarah, naik satu dolar dibandingkan tahun sebelumnya dan tiga dolar dibandingkan Maret 2020. Kenaikan ini, dikombinasikan dengan tarif baru, telah memberikan pukulan telak bagi bisnisnya.

Mortada melaporkan penurunan jumlah pelanggan kafe. Konsumen kini cenderung memesan kopi dengan ukuran lebih kecil dan tanpa tambahan seperti sirup atau susu, sebagai upaya untuk menekan pengeluaran. Harga menu di kafenya telah naik hingga 25%. Ironisnya, Mortada sendiri kini lebih sering menyeduh kopi di rumah daripada membeli di Starbucks, kebiasaan yang dulunya rutin ia lakukan. Ia memperkirakan harga secangkir kopi telah naik setidaknya setengah dolar dan mengkhawatirkan potensi kenaikan lebih lanjut.

Serangan Tarif Trump: Gelombang Kenaikan Harga Kopi Hantam Bisnis Kafe AS

Di San Francisco, Jenny Ngo, pemilik Telescope Coffee, juga menghadapi tantangan serupa. Ia mengimpor biji kopi dari Ethiopia dan Guatemala, dua negara yang terkena tarif 10%. Selain itu, ia juga mengimpor cangkir kopi dingin dari China, yang harganya melonjak drastis dalam waktu singkat. Ngo menyatakan bahwa ia terpaksa mempertimbangkan menaikkan harga jual untuk mempertahankan kelangsungan bisnisnya.

Kenaikan harga kopi ini bukan hanya masalah bagi para pelaku bisnis, tetapi juga berdampak langsung pada konsumen Amerika. Warga AS menghabiskan US$ 100 miliar (sekitar Rp 1.680 triliun dengan kurs Rp 16.800) per tahun untuk kopi. Angka ini menunjukkan betapa besarnya konsumsi kopi di AS dan betapa signifikannya dampak kenaikan harga terhadap daya beli masyarakat. Antrean di kafe-kafe kini semakin pendek, mencerminkan upaya konsumen untuk mengurangi pengeluaran di tengah tekanan ekonomi yang semakin berat.

Secara keseluruhan, kebijakan tarif impor kopi ini telah menciptakan efek domino yang merugikan berbagai pihak. Para pemilik kafe dan toko roti harus berjuang keras untuk bertahan di tengah kenaikan harga yang signifikan. Konsumen harus menanggung beban tambahan untuk menikmati secangkir kopi, sementara para petani kopi di negara-negara produsen mungkin juga merasakan dampak negatif jika permintaan dari AS menurun. Kasus ini menjadi contoh nyata bagaimana kebijakan proteksionis dapat memiliki konsekuensi yang luas dan merugikan, tidak hanya bagi pelaku bisnis, tetapi juga bagi konsumen dan perekonomian secara keseluruhan. Peristiwa ini juga menimbulkan pertanyaan mendalam tentang efektivitas kebijakan tarif sebagai alat untuk melindungi industri dalam negeri dan dampaknya terhadap keseimbangan ekonomi global. Analisis yang lebih komprehensif diperlukan untuk memahami dampak jangka panjang dari kebijakan ini dan mencari solusi yang lebih berkelanjutan bagi industri kopi AS dan negara-negara produsen kopi di dunia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *