Jakarta, 23 Mei 2025 – Sektor hulu migas Indonesia tengah menghadapi tantangan serius berupa terbengkalainya sepuluh wilayah kerja (WK) yang telah memasuki tahap Plan of Development (PoD) namun tak kunjung digarap. Hal ini diungkapkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, dan dikonfirmasi oleh Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Potensi produksi minyak mentah dari sepuluh blok migas yang mangkrak ini diperkirakan mencapai 31.300 barel per hari, sebuah angka yang signifikan bagi upaya pemerintah meningkatkan lifting minyak nasional.
Informasi mengenai lokasi pasti kesepuluh WK tersebut masih terbatas. Deputi Eksplorasi, Pengembangan, dan Manajemen Wilayah Kerja SKK Migas, Rikky Rahmat Firdaus, mengungkapkan bahwa lokasi WK yang mangkrak tersebar di berbagai wilayah, meliputi area lepas pantai (offshore) dan daratan, serta mencakup wilayah perairan Kalimantan Timur dan Kepulauan Riau. Namun, detail lebih lanjut mengenai lokasi spesifik masing-masing WK masih dirahasiakan.
"Jadi ada yang di laut, ada yang di lepas pantai, daratan," ujar Rikky saat ditemui di IPA Convex 2025 di ICE BSD, Tangerang, Rabu (22/5/2025). Ia menambahkan bahwa terdapat berbagai isu yang menyebabkan mangkraknya proyek-proyek tersebut, termasuk kendala komersial. Namun, pihak SKK Migas memilih untuk mendorong para pemegang WK agar terlebih dahulu melakukan evaluasi internal sebelum informasi lebih detail diungkapkan ke publik. Sikap ini tampaknya bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada perusahaan pemegang WK untuk menyelesaikan permasalahan internal mereka sebelum tekanan publik meningkat.
SKK Migas sendiri telah menyiapkan sejumlah langkah strategis untuk mendorong penggarapan kembali kesepuluh WK tersebut. Salah satu upaya yang akan dilakukan adalah mempertemukan para pemegang WK dengan potensi investor. Rikky menjelaskan, "Kalau masalahnya finansial, ayo kami carikan investor yang bonafit untuk bisa disampaikan. Kendala finansial, kami akan mengadakan apa yang namanya sponsor meeting, ini kami akan duduk antara kontrak-kontrak kerja sama dengan pelaksana wasitnya SKK Migas, jadi kesulitan finansial apa yang bisa dibantu SKK Migas." Inisiatif ini menunjukkan komitmen SKK Migas untuk memfasilitasi solusi bagi permasalahan yang dihadapi para pemegang WK, khususnya yang berkaitan dengan pembiayaan.
Langkah proaktif ini sejalan dengan pernyataan tegas Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, yang sebelumnya telah meminta izin Presiden Prabowo Subianto untuk mengambil alih WK migas yang mangkrak, termasuk yang dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Permintaan ini disampaikan dalam konteks upaya pemerintah untuk meningkatkan produksi minyak nasional.
"KKKS yang sudah kita serahkan kewenangannya tapi masih lambat, mohon maaf secara undang-undang lima tahun kita harus tarik kepada negara dan kita tawarkan kepada KKKS lain yang mau mengerjakan. Dan ini tanpa pandang bulu, kalau Bapak (Prabowo) izinkan tidak hanya swasta, BUMN pun kita lakukan Pak," tegas Bahlil dalam The 49th IPA Convention and Exhibition di ICE BSD, Tangerang, Rabu (21/5/2025).
Pernyataan Bahlil menekankan urgensi permasalahan ini. Pemerintah tampaknya tidak akan mentolerir lagi lambannya perkembangan proyek-proyek migas yang telah memasuki tahap PoD. Ancaman pengambilalihan oleh negara menjadi sinyal kuat bagi para pemegang WK untuk segera mengambil tindakan. Aturan yang menyebutkan bahwa WK dapat ditarik kembali oleh negara setelah lima tahun jika tidak menunjukkan progres yang signifikan, menjadi landasan hukum bagi langkah tegas pemerintah ini.
Keengganan pemerintah untuk membiarkan potensi produksi minyak sebesar 31.300 barel per hari terbuang sia-sia, jelas tercermin dalam pernyataan Bahlil. Angka ini merupakan kontribusi yang signifikan bagi target lifting minyak nasional. Kegagalan mengoptimalkan potensi tersebut akan berdampak pada pendapatan negara dan upaya pemerintah dalam menjaga ketahanan energi nasional.
Keberadaan sepuluh WK yang mangkrak ini menimbulkan pertanyaan mengenai efektivitas pengawasan dan regulasi di sektor hulu migas. Apakah terdapat celah regulasi yang memungkinkan situasi ini terjadi? Apakah pengawasan terhadap kinerja para pemegang WK masih perlu ditingkatkan? Pertanyaan-pertanyaan ini perlu dijawab untuk mencegah terulangnya kejadian serupa di masa mendatang.
Langkah-langkah yang diambil SKK Migas, termasuk fasilitasi pencarian investor dan sponsor meeting, patut diapresiasi. Namun, keberhasilan upaya ini sangat bergantung pada kesediaan para pemegang WK untuk berkolaborasi dan menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi. Transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci penting dalam proses ini. Publik perlu diinformasikan secara berkala mengenai perkembangan upaya penyelamatan kesepuluh WK migas yang mangkrak tersebut.
Ke depan, perlu adanya evaluasi menyeluruh terhadap mekanisme pengelolaan WK migas untuk mencegah terulangnya kasus serupa. Peningkatan pengawasan, perbaikan regulasi, dan penguatan koordinasi antar lembaga terkait menjadi hal krusial untuk memastikan optimalisasi potensi sumber daya alam migas Indonesia. Kegagalan dalam mengelola aset negara ini tidak hanya berdampak pada kerugian ekonomi, tetapi juga berpotensi menghambat pencapaian target ketahanan energi nasional. Oleh karena itu, perhatian serius dan tindakan tegas dari pemerintah menjadi sangat penting untuk menyelesaikan permasalahan ini.