Jakarta, 30 April 2025 – Nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat (AS) kembali melemah signifikan, mendorong harga Dolar AS mendekati angka psikologis Rp 17.000. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran, mengingat asumsi nilai tukar dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 telah melenceng dari realitas di lapangan. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui adanya penyimpangan tersebut dan menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan pelemahan Rupiah yang signifikan.
Dalam konferensi pers APBN KiTa di kantornya, Rabu (30/4/2025), Sri Mulyani mengungkapkan bahwa hingga akhir Maret 2025, rata-rata nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS mencapai Rp 16.829/US$, sementara year to date berada di angka Rp 16.443/US$. Angka ini jauh melampaui asumsi APBN 2025 yang menetapkan nilai tukar sebesar Rp 16.000/US$. "Perbedaan ini menunjukkan adanya deviasi yang cukup signifikan antara proyeksi dan realisasi nilai tukar," tegas Sri Mulyani.
Ia menunjuk beberapa faktor eksternal sebagai penyebab utama pelemahan Rupiah. Ketidakpastian ekonomi global yang meningkat menjadi faktor dominan. Kenaikan suku bunga acuan The Federal Reserve (The Fed) di Amerika Serikat, yang tidak turun sesuai prediksi, menjadi pemicu utama. Inflasi AS yang masih tinggi dan pasar tenaga kerja yang ketat memaksa The Fed untuk bersikap lebih hati-hati dalam menurunkan suku bunga. "Kebijakan The Fed ini menyebabkan aliran modal (capital flow) kembali ke AS, sehingga indeks dolar menguat dan menekan mata uang negara lain, termasuk Rupiah," jelas Sri Mulyani.
Situasi semakin diperparah oleh kebijakan proteksionis Presiden AS Donald Trump yang mengumumkan rencana tarif impor tinggi atau tarif resiprokal terhadap sekitar 70 negara mitra dagang. Langkah ini, menurut Sri Mulyani, menimbulkan gejolak signifikan di pasar keuangan global. "Tindakan drastis tersebut telah menciptakan ketidakpastian yang besar dan berdampak pada dinamika sektor keuangan, khususnya pada kuartal I tahun ini," tambahnya. Gejolak ini, lanjut Sri Mulyani, berdampak pada pergerakan modal internasional dan secara langsung menekan nilai tukar Rupiah.
Meskipun demikian, Sri Mulyani menekankan bahwa pelemahan Rupiah saat ini tidak mencerminkan kondisi fundamental ekonomi Indonesia yang sebenarnya. "Pergerakan nilai tukar lebih dipengaruhi oleh dinamika global dan tidak selalu merepresentasikan kondisi ekonomi domestik," ujarnya. Ia menegaskan bahwa fundamental ekonomi Indonesia tetap kuat dan stabil di tengah ketidakpastian global. Hal ini, menurutnya, menjadi pertimbangan penting bagi investor asing untuk tetap menempatkan investasinya di Indonesia.
Sri Mulyani mengungkapkan bahwa di tengah ketidakpastian ekonomi global, investor internasional mencari tempat yang aman dan stabil untuk berinvestasi. Indonesia, dengan pengelolaan ekonomi dan APBN yang stabil serta makro ekonomi yang terjaga, menjadi salah satu destinasi investasi yang menarik. "Stabilitas makro ekonomi Indonesia, termasuk pengelolaan APBN yang prudent, menjadi daya tarik bagi investor global dalam situasi penuh ketidakpastian ini," jelasnya. Pemerintah, lanjut Sri Mulyani, akan terus berupaya menjaga stabilitas ekonomi makro untuk menarik investasi dan mengurangi dampak negatif dari gejolak ekonomi global.
Namun, melemahnya Rupiah hingga mendekati Rp 17.000/US$ memiliki implikasi yang cukup serius bagi perekonomian Indonesia. Potensi peningkatan inflasi akibat kenaikan harga impor menjadi salah satu risiko yang perlu diwaspadai. Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah strategis untuk mengendalikan inflasi dan menjaga daya beli masyarakat. Selain itu, deviasi nilai tukar dari asumsi APBN 2025 menuntut pemerintah untuk melakukan penyesuaian anggaran agar tetap mampu mencapai target-target yang telah ditetapkan.
Ke depan, pemerintah perlu memperkuat koordinasi kebijakan moneter dan fiskal untuk menghadapi tantangan eksternal yang semakin kompleks. Peningkatan diversifikasi ekonomi dan penguatan daya saing produk ekspor Indonesia juga menjadi kunci untuk mengurangi ketergantungan terhadap fluktuasi nilai tukar. Transparansi dan komunikasi yang efektif antara pemerintah dan publik juga penting untuk menjaga kepercayaan investor dan stabilitas ekonomi secara keseluruhan.
Pelemahan Rupiah yang signifikan ini menjadi pengingat akan pentingnya antisipasi terhadap gejolak ekonomi global. Pemerintah perlu mengembangkan strategi yang lebih komprehensif untuk menghadapi ketidakpastian ekonomi global dan menjaga stabilitas ekonomi domestik. Keberhasilan dalam menghadapi tantangan ini akan menentukan keberlanjutan pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa mendatang. Perlu diingat bahwa stabilitas nilai tukar merupakan salah satu pilar penting dalam menjaga stabilitas ekonomi makro secara keseluruhan. Oleh karena itu, upaya pemerintah untuk menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah perlu terus ditingkatkan dan dipantau secara ketat.