Regulasi Tembakau Baru: Hantaman Keras bagi Industri Periklanan dan Pedagang Tradisional

Penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 (PP 28/2024) tentang aturan pelaksana Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan terus memicu gelombang protes dan desakan deregulasi dari berbagai kalangan. Bukan hanya industri hasil tembakau yang merasa terdampak, sektor periklanan luar ruang dan pedagang tradisional pun ikut merasakan gejolak ekonomi yang signifikan akibat regulasi yang dianggap terlalu ketat ini.

Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Media Luar-Griya Indonesia (AMLI), Fabianus Bernadi, mengungkapkan keprihatinannya atas efek domino yang ditimbulkan oleh PP 28/2024. Regulasi yang membatasi iklan dan promosi produk tembakau, khususnya larangan pemajangan iklan dalam radius 500 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak, dinilai terlalu restriktif dan tidak proporsional dalam upaya menekan prevalensi perokok. Menurut Fabianus, batasan radius tersebut merupakan "masalah utama" yang mengancam kelangsungan bisnis periklanan luar ruang. "Aturan radius inilah yang bermasalah dan akan mematikan bisnis kami, sehingga kami meminta pembatalan pasal tembakau yang ada di PP 28/2024," tegas Fabianus dalam keterangannya pada 4 Mei 2025.

Dampaknya sudah terasa nyata. Fabianus mencatat penurunan pendapatan iklan luar ruang hingga 50% sejak munculnya Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) pada akhir 2023. "Sebagai petunjuk pelaksanaan dari UU Kesehatan, kami sangat terkejut ketika Rancangan PP itu berisi larangan total untuk semua iklan promosi. Kami di asosiasi periklanan dibuat syok. Lalu, kami akan beriklan apa?" ujarnya, menggambarkan betapa kagetnya industri periklanan menghadapi regulasi yang tiba-tiba dan drastis ini.

Situasi semakin memburuk setelah PP 28/2024 resmi diterbitkan pada September 2024. Banyak perusahaan reklame kini hanya mampu mempertahankan sekitar 20% dari volume bisnis mereka sebelum penerapan PP tersebut. Upaya Asosiasi AMLI bersama 11 asosiasi periklanan lainnya untuk menyampaikan keberatan kepada Menteri terkait dan Presiden pun belum membuahkan hasil yang signifikan. Fabianus menekankan bahwa regulasi sebelumnya, PP 109/2012, sudah dianggap cukup ketat, dan PP 28/2024 dinilai sama sekali tidak memberikan ruang bagi industri periklanan luar ruang untuk bertahan hidup.

Bukan hanya industri periklanan yang terdampak. Pedagang tradisional juga merasakan pukulan telak akibat PP 28/2024. Sekretaris Jenderal DPP Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI), Mujiburrahman, melaporkan penurunan omzet hingga 30% bagi pedagang rokok di pasar tradisional. Meskipun penurunan daya beli masyarakat secara umum dan maraknya penjualan daring turut berkontribusi, Mujiburrahman menyoroti perubahan perilaku konsumen yang kini lebih cenderung membeli rokok secara sembunyi-sembunyi, mengarah pada peningkatan penjualan rokok ilegal. "Penjualan rokok tidak sepenuhnya menurun, hanya berganti cara belinya menjadi lebih tertutup," ungkap Mujiburrahman.

Regulasi Tembakau Baru: Hantaman Keras bagi Industri Periklanan dan Pedagang Tradisional

Fenomena ini menunjukkan adanya dampak tak terduga dari PP 28/2024. Upaya untuk mengurangi konsumsi rokok justru berpotensi mendorong pertumbuhan pasar gelap, sekaligus merugikan pedagang kecil yang selama ini menggantungkan sebagian pendapatannya pada penjualan rokok legal. Lebih lanjut, Mujiburrahman menekankan bahwa regulasi yang adil harus mempertimbangkan kepentingan semua pihak, terutama lebih dari enam juta pekerja yang terlibat dalam rantai sektor industri hasil tembakau (IHT).

PP 28/2024 tidak hanya mengancam keberlangsungan industri periklanan dan pedagang tradisional, tetapi juga menggerus ekosistem yang melibatkan banyak lapisan masyarakat. Dampaknya meluas, mulai dari para pekerja di industri periklanan, karyawan perusahaan reklame, hingga para pedagang kecil di pasar tradisional yang selama ini mengandalkan penjualan rokok sebagai sumber pendapatan utama. Penurunan pendapatan ini berpotensi memicu pengurangan tenaga kerja, meningkatkan angka pengangguran, dan memperparah kondisi ekonomi masyarakat di lapisan bawah.

Ancaman terhadap keberlangsungan usaha ini menunjukkan perlunya evaluasi mendalam terhadap PP 28/2024. Pertanyaan yang muncul adalah apakah dampak negatif yang ditimbulkan oleh regulasi ini sebanding dengan tujuan yang ingin dicapai, yaitu menekan prevalensi perokok. Apakah strategi pembatasan iklan yang terlalu ketat ini merupakan pendekatan yang tepat dan efektif, atau justru kontraproduktif dan berpotensi menimbulkan masalah baru, seperti peningkatan penjualan rokok ilegal?

Desakan pembatalan pasal-pasal tembakau dalam PP 28/2024 bukan sekadar tuntutan sektoral, melainkan juga refleksi dari kekhawatiran akan dampak sosial ekonomi yang lebih luas. Pemerintah perlu mempertimbangkan secara cermat dampak regulasi ini terhadap berbagai sektor, termasuk industri periklanan, pedagang tradisional, dan jutaan pekerja yang terlibat dalam rantai pasok industri hasil tembakau. Suatu regulasi yang baik seharusnya tidak hanya berfokus pada tujuan jangka pendek, tetapi juga mempertimbangkan dampak jangka panjang dan keseimbangan kepentingan semua pihak yang terlibat. Dialog dan kolaborasi yang lebih intensif antara pemerintah, industri, dan para pemangku kepentingan lainnya diperlukan untuk menemukan solusi yang lebih komprehensif dan berkelanjutan dalam mengatasi masalah kesehatan masyarakat terkait tembakau. Regulasi yang bersifat "one-size-fits-all" tanpa mempertimbangkan konteks dan dampaknya terhadap berbagai sektor ekonomi dapat berakibat fatal dan menimbulkan masalah yang lebih kompleks di masa mendatang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *