Jakarta, 24 April 2025 – Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 (PP 28/2024) tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 (UU 17/2023) tentang Kesehatan, khususnya terkait larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak, menuai protes keras dari kalangan pengusaha ritel dan produsen rokok. Mereka menilai aturan tersebut menimbulkan kebingungan, ketidakpastian hukum, dan berpotensi mengancam perekonomian nasional.
Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) dan Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) menyatakan keprihatinan mendalam atas penerbitan PP 28/2024 yang dinilai terkesan mendadak dan tanpa melibatkan para pemangku kepentingan, termasuk Aprindo dan Hippindo sendiri. Ketua Umum Aprindo, Solihin, mengungkapkan kekecewaannya atas kurangnya dialog dan konsultasi sebelum aturan tersebut diimplementasikan.
"Tanda tanya besar bagi kami. Sebagai Ketua Umum Aprindo maupun Apindo DKI, kami menyayangkan adanya PP tersebut tanpa melibatkan stakeholder, terutama Aprindo," tegas Solihin dalam keterangan persnya. Ia menambahkan bahwa aturan tersebut menimbulkan kebingungan dan tebang pilih dalam pelaksanaannya. Beberapa ritel modern telah dilaporkan didatangi petugas yang dikhawatirkan mencari-cari kesalahan. Lebih memprihatinkan lagi, belum ada edukasi yang memadai dari Kementerian terkait mengenai implementasi aturan di lapangan.
Sebagai langkah konkrit, Aprindo berencana mengajukan judicial review terhadap pasal-pasal yang dianggap bermasalah. "Sampai saat ini belum ada dialog mengenai hal itu, tiba-tiba (aturannya) sudah keluar. Salah satu langkah kami adalah judicial review, tapi kita lihat dulu apakah ada penyesuaian dalam peraturan pelaksananya yang berasal dari masukan pengusaha, terutama ritel," jelas Solihin.
Sentimen serupa diungkapkan oleh Ketua Umum Hippindo, Budihardjo Iduansjah. Ia menekankan bahwa pelaku usaha telah berkomitmen menjalankan aturan pengetatan penjualan rokok kepada anak di bawah umur 21 tahun, seperti menempatkan produk rokok di belakang kasir. Namun, larangan penjualan dalam radius 200 meter justru dikhawatirkan akan memicu maraknya peredaran rokok ilegal.
"Jika rokok legal tidak ada dalam radius 200 meter dari sekolah, rokok ilegal bisa dijual dengan cara-cara ilegal, jualan diam-diam, akan ada orang yang tidak bayar pajak. Ini siapa yang bisa mengontrol?" tanya Budihardjo, menyoroti potensi hilangnya penerimaan negara dari cukai dan semakin sulitnya pengawasan peredaran tembakau.
Kekhawatiran yang lebih luas diungkapkan oleh Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), Benny Wachjudi. Ia menghubungkan dampak negatif PP 28/2024 dengan target pertumbuhan ekonomi nasional yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto sebesar 8%. Benny mengingatkan bahwa industri tembakau menyerap ratusan ribu tenaga kerja, mulai dari petani tembakau hingga buruh pabrik, dan berkontribusi signifikan terhadap penerimaan negara melalui cukai hasil tembakau yang mencapai lebih dari Rp 200 triliun per tahun.
"Aturan perlu mempertimbangkan ratusan ribu tenaga kerja yang terlibat, termasuk petani, buruh dan sebagainya. Kemudian jangan lupa dengan kontribusi Cukai Hasil Tembakau sekitar lebih dari Rp 200 triliun per tahun," ujar Benny. Ia menekankan perbedaan konteks Indonesia dengan negara lain, mengingat Indonesia memiliki kebun tembakau, industri pengolahan, dan pemerintah yang masih bergantung pada penerimaan dari industri tembakau.
Benny memperingatkan bahwa penghapusan industri tembakau secara tiba-tiba akan berdampak sangat signifikan terhadap perekonomian. "Rp 200 triliun bukan nilai yang sedikit. Jika industri tembakau dihilangkan begitu saja, ekonomi juga akan turun. Kita mau mengejar pertumbuhan 8%, bagaimana mungkin kita mencapai target tersebut? Khawatirnya, dengan aturan-aturan seperti ini, 50% dari target pertumbuhan ekonomi juga tidak akan tercapai jika industri tembakau dihilangkan pada saat ini," jelasnya.
Tertekannya industri tembakau, menurut Benny, sudah mulai terasa. Ketidakpastian hukum yang ditimbulkan oleh PP 28/2024 semakin memperburuk situasi. Ia menilai bahwa kebijakan larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak justru kontraproduktif dan tidak memberikan solusi yang efektif.
"Ketentuannya dihilangkan akan lebih pasti. Masalah sekarang ini tidak ada kepastian hukum. Hukumnya ada tapi tidak bisa diterapkan. Judicial review adalah langkah tepat. Gaprindo mendukung rencana judicial review karena dampak langsung terasa kepada pedagang. Jika pedagang terganggu, industri juga akan terganggu," tegas Benny.
Kesimpulannya, PP 28/2024 mengenai larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak menimbulkan kontroversi besar. Selain menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian hukum bagi pelaku usaha, aturan ini juga dikhawatirkan akan berdampak negatif terhadap perekonomian nasional, mengancam lapangan kerja, dan justru memicu maraknya peredaran rokok ilegal. Langkah judicial review yang direncanakan oleh Aprindo dan dukungan Gaprindo terhadap langkah tersebut menunjukkan betapa seriusnya dampak aturan ini bagi industri tembakau dan perekonomian Indonesia secara keseluruhan. Perdebatan ini pun menyoroti pentingnya keterlibatan seluruh pemangku kepentingan dalam proses pembuatan kebijakan agar tercipta aturan yang adil, efektif, dan berkelanjutan.