Jakarta, 26 Mei 2025 – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bapak Bahlil Lahadalia, memberikan tanggapan tegas terkait desakan untuk melakukan pensiun dini terhadap Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batu bara. Meskipun mengakui keinginan pemerintah untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil, beliau menekankan kendala utama yang dihadapi: biaya yang sangat besar.
Dalam pernyataan pers di Kementerian ESDM, Jakarta, Menteri Bahlil menyatakan, "Yang berikut, mau pensiunkan (PLTU Batu Bara). Sudahlah, negara ini lagi butuh uang. Mau pensiun? Boleh, besok pagi saya pensiunkan, oke. Tapi ada nggak dana donor yang mau biayain? Yuk kasih dong. Kalian wartawan juga tanyain tuh, apa namanya bank-bank dunia yang merasa mau kasih duit Indonesia, kasih sini. Kasih uang, bunga murah, ane pensiunkan." Pernyataan tersebut secara gamblang menunjukkan bahwa pemerintah tidak menutup mata terhadap urgensi transisi energi, namun mengingatkan perlunya dukungan finansial yang signifikan dari pihak luar negeri untuk merealisasikan rencana tersebut.
Menteri Bahlil secara langsung menantang pihak-pihak yang gencar mengkampanyekan pensiun dini PLTU batu bara untuk turut serta dalam membiayai proses tersebut. Beliau mempertanyakan realisme dari seruan tersebut tanpa adanya komitmen pendanaan yang jelas. "Jangan minta pensiun uangnya nggak kasih-kasih, bunga mahal, teknologi mahal. Yang jadi beban siapa? Masa harus kurangi profitnya PLN, ang benar aja," tegasnya. Pernyataan ini menyoroti dilema yang dihadapi pemerintah: di satu sisi ada tekanan internasional untuk mengurangi emisi karbon, di sisi lain terdapat keterbatasan anggaran dan potensi kerugian ekonomi bagi perusahaan listrik negara (PLN).
Menteri Bahlil juga meluruskan informasi terkait rencana pensiun dini PLTU. Beliau menjelaskan bahwa hingga saat ini, hanya satu PLTU yang masuk dalam rencana tersebut, yaitu PLTU di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. "Hanya satu pensiun dini kok, yang saya sudah Cirebon, yang lainnya belum ada," jelasnya, membantah anggapan bahwa pemerintah akan melakukan penghentian operasi PLTU secara besar-besaran dalam waktu dekat.
Lebih lanjut, Menteri Bahlil merujuk pada Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) Tahun 2025-2034, yang menunjukkan rencana penambahan kapasitas pembangkit listrik sebesar 6,3 GW dari PLTU batu bara. Beliau menjelaskan konteks penambahan kapasitas tersebut dalam memenuhi kebutuhan energi nasional yang terus meningkat. "Kemudian fosil kita masih ada, gas 10,3 GW dan batubara 6,3 GW. Sebenarnya gas ini menurut saya bukan lagi fosil, dia setengah. Dan batubara 6,3 GW. Di Eropa aja masih ada pake batubara kok, di Turki masih banyak pake batubara, kita aja yang terlalu kekinian," ujarnya. Pernyataan ini menunjukkan bahwa pemerintah masih mempertimbangkan batu bara sebagai sumber energi penting, setidaknya untuk jangka waktu menengah, sambil menekankan bahwa Indonesia bukanlah satu-satunya negara yang masih bergantung pada energi fosil.
Menteri Bahlil juga menegaskan pentingnya menghindari persepsi negatif terhadap batu bara sebagai sumber energi yang sepenuhnya tercela. Beliau menekankan bahwa penggunaan batu bara masih diperlukan untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri, selama masih dibutuhkan. "Jadi jangan dipersepsikan kalau batu bara itu haram gitu loh. Jangan membedakan antara batu bara dengan ini, nggak. Jadi mau ditambah pun nggak papa, kalau memang negara itu butuhkan," katanya. Pernyataan ini menunjukkan upaya pemerintah untuk menyeimbangkan antara tuntutan transisi energi dan realita kebutuhan energi nasional.
Sebagai solusi jangka menengah, Menteri Bahlil menyoroti perkembangan teknologi Carbon Capture and Storage (CCS) sebagai upaya untuk mengurangi emisi karbon dari pembangkit batu bara. "Dan sekarang batu bara itu ada alat penangkap carbon capture untuk menurunkan emisi. Dan batu bara ke depan, perkembangan teknologi, yang namanya batu bara bersih. Jadi, kita itu jangan mau diadu-adu gitu loh. Jangan barang kita tuh seolah-olah kotor, supaya impor barang bersih, mahal-mahal," jelasnya. Pernyataan ini menunjukkan bahwa pemerintah berupaya untuk memanfaatkan teknologi untuk mengurangi dampak lingkungan dari penggunaan batu bara, sekaligus menyindir praktik impor teknologi ramah lingkungan yang berbiaya tinggi.
Kesimpulannya, pernyataan Menteri Bahlil mencerminkan dilema yang dihadapi pemerintah dalam menghadapi tekanan global untuk transisi energi. Meskipun pemerintah mengakui pentingnya mengurangi ketergantungan pada batu bara, realisasi rencana tersebut terkendala oleh keterbatasan dana dan kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri. Pemerintah menekankan perlunya dukungan finansial dari pihak internasional untuk mempercepat transisi energi, seraya menunjukkan upaya untuk mengurangi dampak lingkungan dari penggunaan batu bara melalui teknologi CCS dan menekankan perlunya pandangan yang seimbang terhadap peran batu bara dalam bauran energi nasional. Pernyataan ini membuka ruang diskusi yang lebih luas tentang strategi transisi energi yang tepat dan berkelanjutan bagi Indonesia, dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Perdebatan ini tentunya akan terus berlanjut, mengingat kompleksitas isu energi dan kepentingan berbagai pihak yang terkait.