Jakarta, 30 April 2025 – Komisi VII DPR RI mendesak Bank BUMN untuk memberikan penjelasan transparan terkait mekanisme penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR), khususnya menyangkut klaim penyaluran KUR di bawah Rp 100 juta tanpa agunan. Desakan ini muncul setelah Ketua Komisi VII DPR, Saleh Partaonan Daulay, menerima gelombang protes dari masyarakat yang merasa informasi tersebut menyesatkan.
Saleh mengungkapkan, setelah ia mempublikasikan informasi terkait KUR tanpa agunan di bawah Rp 100 juta, banjir protes membanjiri dirinya. "Seminggu setelah saya posting, saya menerima protes luar biasa dari masyarakat, bahkan kalimatnya sudah tidak enak didengar. Saya merasa malu karena dianggap berbohong. Ternyata, masyarakat yang datang ke bank dengan harapan bisa mengakses KUR tanpa agunan, justru menghadapi kesulitan administrasi yang rumit. Mereka yang akhirnya mendapatkan KUR pun seringkali bukan mereka yang benar-benar membutuhkan," ungkap Saleh dalam Rapat Kerja di Gedung DPR RI, Jakarta Pusat.
Kekecewaan masyarakat ini mendorong Komisi VII untuk memanggil perwakilan Bank BUMN guna meminta klarifikasi. Saleh secara tegas menuntut penjelasan detail mengenai mekanisme penyaluran KUR, termasuk kriteria pemilihan debitur. "Bagaimana mekanisme sebenarnya memberikan KUR, bagaimana kriteria pemilihan debitur sehingga yang mendapatkan KUR adalah mereka yang benar-benar membutuhkan dan layak," tegas Saleh.
Dalam rapat tersebut, perwakilan Bank BUMN memberikan tanggapan atas tudingan tersebut. Direktur Commercial Banking BTN, Hermita, menjelaskan bahwa penyaluran KUR dibagi menjadi dua kategori: UMKM yang sudah menjadi debitur dan calon debitur baru. BTN, menurut Hermita, memberikan pendampingan intensif kepada calon debitur baru untuk membantu mereka memenuhi persyaratan administrasi. "Selama ini, calon penerima KUR yang belum pernah menerima pembiayaan, memang belum memenuhi kriteria tertentu. Namun, bagi debitur yang sudah pernah menerima KUR dan lancar pembayarannya, kami tetap memberikan tambahan pembiayaan. Terkadang ada beberapa persyaratan tambahan, dan kami mendampingi mereka untuk melengkapi persyaratan tersebut," jelas Hermita.
Sementara itu, Direktur Risk Management BNI, David Pirzada, memaparkan bahwa BNI telah menyalurkan KUR kepada setidaknya 11.000 debitur UMKM. Proses penyaluran dilakukan melalui aplikasi khusus yang dirancang untuk mempermudah proses pengajuan dan verifikasi dokumen. David menekankan bahwa pengecekan dokumen yang dibutuhkan tidak berbelit-belit, hanya meliputi legalitas usaha dan identitas diri. "Dari aplikasi yang masuk dalam tiga bulan terakhir, sekitar 13.000 aplikasi KUR telah diajukan, dengan tingkat persetujuan (approval rate) mencapai 83%. Artinya, kita telah menyalurkan KUR kepada 11.000 debitur dalam tiga bulan saja di tahun ini," ujar David.
Penjelasan berbeda disampaikan oleh Direktur Consumer Banking Mandiri, Saptari. Ia lebih fokus pada angka kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) UMKM di Bank Mandiri. Saptari menyatakan bahwa NPL UMKM di Bank Mandiri masih tergolong rendah, yaitu sekitar 1%. Rendahnya angka NPL ini, menurutnya, disebabkan oleh seleksi nasabah yang ketat. "Alhamdulillah, karena kami memilih nasabah yang cukup bagus, NPL kami hanya 1 persen," ungkap Saptari.
Penjelasan dari perwakilan Bank BUMN ini, meskipun memberikan gambaran mengenai proses penyaluran KUR, belum sepenuhnya menjawab pertanyaan mendasar yang diajukan oleh Komisi VII DPR. Pernyataan mengenai pendampingan dan seleksi ketat masih perlu dikaji lebih lanjut untuk memastikan efektivitasnya dalam menjangkau UMKM yang benar-benar membutuhkan akses permodalan. Protes masyarakat yang diterima Saleh Partaonan Daulay menjadi indikasi kuat bahwa masih terdapat celah dan kendala dalam aksesibilitas KUR, terlepas dari adanya program KUR tanpa agunan.
Perbedaan persepsi antara informasi publik dan realita di lapangan menjadi sorotan utama dalam polemik ini. Klaim KUR tanpa agunan di bawah Rp 100 juta, jika tidak diimbangi dengan penjelasan mekanisme dan kriteria yang transparan, berpotensi menimbulkan kesalahpahaman dan kekecewaan di kalangan UMKM. Komisi VII DPR menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam penyaluran KUR agar program tersebut benar-benar dapat memberdayakan UMKM dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Ke depan, perlu dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap mekanisme penyaluran KUR, termasuk penyederhanaan prosedur administrasi dan sosialisasi yang lebih efektif kepada masyarakat. Hal ini penting untuk memastikan bahwa KUR dapat diakses secara adil dan merata oleh seluruh UMKM yang membutuhkan, sekaligus menghindari kesalahpahaman yang dapat memicu protes seperti yang terjadi baru-baru ini. Peran pengawasan DPR dan transparansi dari Bank BUMN menjadi kunci utama dalam keberhasilan program KUR. Kejelasan informasi dan akses yang mudah bagi UMKM akan menjadi indikator keberhasilan program ini dalam mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Jika tidak, program KUR berpotensi menjadi sia-sia dan hanya menguntungkan segelintir pihak saja. Oleh karena itu, perlu adanya komitmen bersama dari semua pihak terkait untuk memastikan program KUR berjalan efektif dan mencapai tujuannya.