Jakarta, 3 Mei 2025 – Industri manufaktur Indonesia tengah menghadapi badai sempurna. Purchasing Manager’s Index (PMI) Manufaktur, indikator utama kesehatan sektor manufaktur, anjlok ke level 46,7 pada April 2025. Angka ini menandai kontraksi yang signifikan – berada di bawah ambang batas 50 poin – dan merupakan level terburuk sejak Agustus 2021, saat pandemi COVID-19 masih melanda. Penurunan tajam sebesar 5,7 poin dibandingkan angka Maret 2025 (52,4) menunjukkan merosotnya kepercayaan pelaku industri dalam negeri di tengah ketidakpastian ekonomi global dan domestik.
Juru Bicara Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Febri Hendri Antoni Arief, mengakui keprihatinan atas penurunan drastis ini. "Penurunannya sangat signifikan," tegas Febri dalam keterangan resmi, Jumat (3/5/2025). Ia menjelaskan bahwa ketidakpastian ekonomi global, terutama dampak perang tarif yang digulirkan Amerika Serikat dan serbuan produk impor, menjadi faktor utama penyebab anjloknya PMI. Kondisi ini, menurut Febri, telah menciptakan iklim "wait and see" di kalangan pelaku industri.
Usamah Bhatti, Ekonom S&P Global Market Intelligence, mengungkapkan gambaran yang lebih suram. Ia menyebut kondisi kesehatan sektor manufaktur Indonesia sebagai yang terburuk sejak Agustus 2021, ditandai dengan penurunan tajam penjualan dan output. "Ini kontraksi pertama dalam lima bulan," kata Bhatti, menekankan dampaknya terhadap pengurangan pembelian bahan baku, pemutusan hubungan kerja, dan pengurangan stok barang jadi. Prospek jangka pendek pun dinilai suram, dengan perusahaan lebih fokus menyelesaikan pesanan yang ada daripada memproduksi barang baru.
Survei PMI manufaktur, yang mengukur sentimen pelaku industri, menunjukkan tekanan psikologis yang signifikan. Perang tarif global dan membanjirnya produk impor ke pasar domestik telah menggerogoti kepercayaan diri para pelaku usaha. Kondisi ini diperparah oleh perlambatan Indeks Kepercayaan Industri (IKI) pada April 2025, yang meskipun masih berada di zona ekspansi (51,90), menunjukkan penurunan dibandingkan bulan Maret (52,98) dan periode yang sama tahun lalu.
Febri menjelaskan bahwa ketidakpastian kebijakan menjadi salah satu penyebab utama penurunan kepercayaan ini. Para pelaku industri, kata Febri, menunggu kepastian hasil negosiasi pemerintah Indonesia dengan Amerika Serikat terkait perang tarif. "Pelaku industri kita bukan hanya khawatir dengan tarif resiprokal, tetapi lebih khawatir dengan serangan produk-produk dari negara yang terdampak tarif tersebut," jelasnya. Indonesia, menurut Febri, berisiko menjadi pasar alternatif bagi produk-produk tersebut, mengakibatkan banjir impor yang membanjiri pasar domestik dan menekan industri dalam negeri.
Kemenperin sendiri telah menerima banyak keluhan dari pelaku industri dan asosiasi terkait ketidakpastian ini. Mereka menuntut kebijakan strategis pemerintah untuk melindungi industri dalam negeri dan meningkatkan daya saingnya di pasar domestik. "Mereka ingin menjadi tuan rumah di negara sendiri," tegas Febri.
Permasalahan ini semakin krusial mengingat sekitar 80% produk industri nasional ditujukan untuk pasar domestik, terdiri dari belanja pemerintah, swasta, dan rumah tangga. Hanya sekitar 20% yang diekspor. Oleh karena itu, perlindungan pasar domestik menjadi sangat vital bagi keberlangsungan industri dalam negeri.
Kemenperin, menurut Febri, berkomitmen untuk menciptakan iklim optimisme bagi pelaku usaha. Namun, dibutuhkan dukungan dari kementerian/lembaga lain untuk mengeluarkan kebijakan yang pro-investasi dan pro-perlindungan industri dalam negeri. "Jangan sampai permintaan pasar domestik yang sudah turun diisi oleh barang impor," tegasnya.
Perbandingan dengan negara-negara lain semakin mempertegas keprihatinan. Penurunan PMI manufaktur Indonesia jauh lebih dalam dibandingkan negara-negara sejawat di Asia Tenggara dan dunia. Filipina, misalnya, masih mencatatkan PMI manufaktur yang ekspansif, diuntungkan oleh kebijakan perlindungan pasar dalam negeri yang lebih afirmatif dan dampak perang tarif AS yang relatif lebih kecil.
Data S&P Global menunjukkan beberapa negara lain juga mengalami kontraksi PMI manufaktur pada April 2025, antara lain Thailand (49,5), Malaysia (48,6), Jepang (48,5), Jerman (48,0), Taiwan (47,8), Korea Selatan (47,5), Myanmar (45,4), dan Inggris (44,0). Meskipun China masih berada di zona ekspansi (50,4), lajunya mengalami perlambatan.
Kesimpulannya, anjloknya PMI manufaktur Indonesia ke level terburuk sejak pandemi merupakan sinyal peringatan serius. Bukan hanya masalah ekonomi semata, tetapi juga menunjukkan kebutuhan mendesak akan kebijakan pemerintah yang lebih pro-industri dalam negeri untuk melindungi pasar domestik dan mengembalikan kepercayaan pelaku usaha. Kegagalan dalam merespon situasi ini berpotensi memicu resesi dan dampak sosial ekonomi yang lebih luas. Pemerintah perlu segera mengambil langkah konkret, tidak hanya melalui negosiasi internasional, tetapi juga dengan menerapkan kebijakan perlindungan industri yang efektif dan berkelanjutan.