Batam, Kepulauan Riau – Gelombang PHK kembali menerjang sektor industri di Indonesia. Kali ini, PT Maruwa Indonesia, perusahaan manufaktur asal Jepang yang telah beroperasi selama lebih dari dua dekade di Kawasan Industri Bintang Industri II, Tanjung Uncang, Batam, secara tiba-tiba menghentikan seluruh operasionalnya dan memberhentikan 205 pekerja tanpa pesangon. Kejadian yang bermula pada awal April 2025 ini telah menimbulkan keresahan dan kemarahan di kalangan pekerja dan serikat buruh.
Informasi mengenai kebangkrutan dan penutupan PT Maruwa beredar luas di media sosial sebelum akhirnya dikonfirmasi oleh berbagai pihak, termasuk Asosiasi Serikat Pekerja (ASPEK) Indonesia dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI). Presiden ASPEK, Mirah Sumirat, membenarkan adanya PHK massal tersebut dan mengungkapkan keprihatinannya atas nasib 205 pekerja yang mendadak kehilangan mata pencaharian. "Menurut informasi yang kami terima, sebanyak 205 pekerja PT Maruwa Indonesia diliburkan tanpa pemberitahuan resmi dari perusahaan," tegas Mirah kepada awak media pada Senin (26/5/2025).
Hal senada disampaikan oleh Presiden KSPI, Said Iqbal. Ia merinci bahwa dari 205 pekerja yang terkena dampak PHK, 49 orang berstatus karyawan tetap, sementara 156 lainnya merupakan pekerja kontrak. Yang lebih memprihatinkan, lanjut Iqbal, seluruh pekerja tersebut tidak menerima pesangon sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan. "Ini merupakan tindakan yang sangat tidak manusiawi dan melanggar hak-hak pekerja," ujar Iqbal dengan nada tegas. Ia menambahkan bahwa kejadian ini menambah panjang daftar perusahaan yang melakukan PHK massal tanpa memperhatikan hak-hak pekerja.
Penutupan mendadak PT Maruwa, yang telah beroperasi sejak tahun 1999, menimbulkan pertanyaan besar mengenai tata kelola perusahaan dan kepatuhannya terhadap peraturan ketenagakerjaan. Ketiadaan pemberitahuan resmi sebelumnya dan absennya pesangon bagi pekerja yang di-PHK menunjukkan adanya dugaan pelanggaran hukum yang serius. Para pekerja kini menghadapi kesulitan ekonomi yang signifikan, terutama mengingat tingginya biaya hidup di Batam. Kehilangan pekerjaan secara tiba-tiba tanpa kompensasi yang layak dapat berdampak buruk pada kehidupan mereka dan keluarga.
Kasus PT Maruwa bukanlah kejadian yang berdiri sendiri. Data dari Litbang Partai Buruh dan Koalisi Serikat Pekerja (KSP-BP) menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Hingga April 2025, tercatat sebanyak 80 perusahaan telah melakukan PHK massal, mengakibatkan lebih dari 70.000 pekerja kehilangan pekerjaan. Angka ini menunjukkan peningkatan drastis dibandingkan periode sebelumnya, dengan jumlah perusahaan yang melakukan PHK meningkat dua kali lipat hanya dalam empat bulan pertama tahun 2025. Tren ini mengindikasikan adanya permasalahan struktural dalam perekonomian nasional yang perlu segera ditangani oleh pemerintah.
Situasi ini menuntut respon cepat dan tegas dari pemerintah, khususnya Kementerian Ketenagakerjaan. Pemerintah perlu melakukan investigasi menyeluruh terhadap kasus PHK di PT Maruwa untuk memastikan kepatuhan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jika ditemukan pelanggaran, sanksi tegas harus diberikan kepada perusahaan agar kejadian serupa tidak terulang kembali. Selain itu, pemerintah juga perlu memberikan perlindungan dan bantuan kepada para pekerja yang terdampak PHK, termasuk melalui program pelatihan vokasi dan penempatan kerja.
Lebih lanjut, pemerintah perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan ekonomi yang telah diterapkan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan meningkatnya angka PHK. Kebijakan yang pro-buruh dan berpihak pada pekerja perlu diprioritaskan untuk menciptakan iklim investasi yang sehat dan berkelanjutan, sekaligus melindungi hak-hak pekerja. Perlindungan hukum yang kuat dan efektif juga sangat penting untuk mencegah terjadinya eksploitasi dan pelanggaran hak-hak pekerja oleh perusahaan.
Serikat pekerja juga memiliki peran penting dalam memperjuangkan hak-hak anggotanya. Dalam kasus PT Maruwa, serikat pekerja harus mengambil langkah hukum untuk menuntut hak-hak pekerja yang telah dilanggar, termasuk tuntutan pesangon dan kompensasi lainnya. Kolaborasi antara serikat pekerja, pemerintah, dan masyarakat sipil sangat penting untuk memastikan perlindungan hak-hak pekerja dan menciptakan lingkungan kerja yang adil dan bermartabat.
Kasus PHK massal di PT Maruwa menjadi pengingat penting bagi semua pihak akan pentingnya kepatuhan terhadap peraturan ketenagakerjaan dan perlindungan hak-hak pekerja. Kejadian ini bukan hanya masalah individu, tetapi juga merupakan indikator dari permasalahan sistemik yang memerlukan solusi komprehensif dan berkelanjutan. Pemerintah, perusahaan, dan serikat pekerja harus bekerja sama untuk menciptakan lingkungan kerja yang adil, aman, dan berkelanjutan bagi seluruh pekerja di Indonesia. Kegagalan dalam hal ini akan berdampak buruk pada stabilitas sosial dan ekonomi negara. Perhatian serius dan tindakan nyata dari semua pihak sangat dibutuhkan untuk mencegah terulangnya tragedi serupa di masa mendatang. Nasib 205 pekerja PT Maruwa menjadi cerminan dari tantangan besar yang dihadapi dalam menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi pekerja di Indonesia.