Jakarta, 1 Juni 2025 – Kinerja ekspor Korea Selatan mencatatkan penurunan untuk pertama kalinya dalam empat bulan terakhir, merosot 1,3% secara tahunan menjadi US$ 57,27 miliar pada Mei 2025. Data ini menjadi pukulan telak bagi ekonomi Korea Selatan, negara dengan perekonomian terbesar keempat di Asia, dan menjadi indikator nyata dampak perang dagang global yang dipicu oleh kebijakan proteksionis Presiden AS Donald Trump. Penurunan ini, yang awalnya diprediksi lebih tajam oleh jajak pendapat ekonom Reuters (2,7%), menunjukkan betapa rentannya ekonomi Korea Selatan terhadap gejolak perdagangan internasional.
Ancaman tarif impor besar-besaran yang diimplementasikan oleh pemerintahan Trump telah memberikan dampak signifikan terhadap kinerja ekspor Negeri Ginseng. Penurunan ekspor terutama disebabkan oleh melemahnya pengiriman ke Amerika Serikat dan Tiongkok, dua pasar ekspor terbesar Korea Selatan. Ekspor ke AS anjlok 8,1% pada Mei 2025, sementara ekspor ke Tiongkok mengalami penurunan sebesar 8,4%. Kondisi ini menggarisbawahi ketergantungan ekonomi Korea Selatan pada kedua negara adidaya tersebut dan betapa rentannya mereka terhadap kebijakan proteksionis.
Menteri Perindustrian dan Perdagangan Korea Selatan, Ahn Duk-geun, dalam pernyataannya mengakui dampak negatif tarif AS terhadap ekonomi global dan ekspor negaranya. "Penurunan ekspor ke Amerika Serikat dan Tiongkok, dua pasar terbesar, menunjukkan tindakan tarif AS berdampak pada ekonomi global serta ekspor kami," tegasnya.
Meskipun demikian, tidak semua sektor ekspor Korea Selatan mengalami penurunan. Ekspor semikonduktor justru mencatatkan pertumbuhan yang signifikan, melonjak 21,2% didorong oleh permintaan chip memori canggih yang tinggi di pasar global. Namun, lonjakan ini tidak cukup untuk mengimbangi penurunan drastis di sektor lain. Sektor otomotif, misalnya, mengalami penurunan ekspor sebesar 4,4%, yang sebagian disebabkan oleh dampak tarif AS dan kendala produksi di pabrik baru Hyundai Motor di Georgia, AS.
Di sisi lain, ekspor ke beberapa negara justru menunjukkan tren positif. Ekspor ke Uni Eropa meningkat 4,0%, sementara ekspor ke Taiwan mengalami lonjakan signifikan sebesar 49,6%. Namun, ekspor ke negara-negara Asia Tenggara mengalami penurunan ringan sebesar 1,3%, menunjukkan bahwa dampak perang dagang tidak hanya terbatas pada AS dan Tiongkok.
Kondisi ini semakin rumit dengan dinamika perang dagang yang masih berlangsung. Meskipun China dan Amerika Serikat sempat menyepakati gencatan senjata selama 90 hari pada pertengahan Mei, mengurangi tarif secara signifikan setelah berbulan-bulan saling mengenakan tarif tinggi, situasi tersebut tidak bertahan lama. Presiden Trump kemudian menuduh Beijing melanggar perjanjian tersebut dan mengancam akan mengambil tindakan yang lebih keras, bahkan berencana menggandakan tarif global untuk baja dan aluminium menjadi 50%. Ancaman ini menambah ketidakpastian dan berpotensi memperburuk situasi bagi eksportir Korea Selatan.
Secara keseluruhan, penurunan ekspor Korea Selatan pada Mei 2025 menunjukkan dampak nyata dari perang dagang yang semakin meluas. Meskipun surplus neraca perdagangan bulanan masih tercatat sebesar US$ 6,94 miliar – yang merupakan angka terbesar sejak Juni 2024, berkat penurunan impor sebesar 5,3% menjadi US$ 50,33 miliar – angka tersebut tidak mampu menutupi kekhawatiran akan prospek ekonomi jangka panjang. Ketidakpastian yang ditimbulkan oleh kebijakan proteksionis AS dan respons balasan dari negara-negara lain mengancam pertumbuhan ekonomi Korea Selatan dan menuntut strategi yang lebih adaptif dan responsif dari pemerintah untuk melindungi sektor ekspornya.
Ke depan, Korea Selatan perlu mempertimbangkan diversifikasi pasar ekspor untuk mengurangi ketergantungan pada AS dan Tiongkok. Penguatan kerjasama ekonomi regional dan eksplorasi pasar-pasar baru menjadi krusial untuk mengurangi dampak negatif perang dagang. Selain itu, peningkatan daya saing produk ekspor melalui inovasi dan peningkatan kualitas juga menjadi faktor penting untuk menghadapi tantangan global yang semakin kompleks. Perang dagang ini bukan hanya sekadar konflik ekonomi, tetapi juga ujian bagi kemampuan Korea Selatan untuk beradaptasi dan bertahan dalam lingkungan global yang semakin tidak pasti. Keberhasilannya dalam menghadapi tantangan ini akan menentukan masa depan ekonomi Negeri Ginseng.