Jakarta, 9 April 2025 – Eskalasi perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China mencapai babak baru yang menegangkan. Kebijakan tarif impor balasan Presiden Donald Trump, yang mencapai angka fantastis 104% untuk sejumlah produk China, telah memicu reaksi keras dari Beijing, yang langsung membalas dengan kebijakan tarif serupa. Langkah ini semakin memperdalam kekhawatiran global akan dampak negatif terhadap perekonomian dunia.
Awal mula konflik ini dapat ditelusuri hingga Februari 2025, ketika Trump pertama kali memberlakukan tarif impor sebesar 10% terhadap seluruh barang impor dari China. Pemerintahan Trump saat itu mengaitkan kebijakan ini dengan dugaan keterlibatan China dalam membantu imigrasi ilegal ke AS dan penyelundupan fentanil. Langkah ini kemudian diperparah pada bulan berikutnya dengan penggandaan tarif menjadi 20%, sebuah tindakan yang dinilai sebagai langkah proteksionis yang agresif.
Puncak ketegangan terjadi pada 2 April 2025, ketika Trump mengumumkan tarif impor balasan sebesar 34% terhadap produk-produk China, efektif berlaku mulai 9 April. Langkah ini, yang diklaim sebagai respons atas praktik perdagangan yang tidak adil dari China, langsung disambut dengan balasan sepadan dari Beijing. China dengan cepat menjatuhkan tarif impor sebesar 34% terhadap barang-barang impor dari AS, menolak ajakan negosiasi dari pemerintah AS untuk mencabut tarif tersebut.
Tidak puas dengan respons China, pemerintahan Trump meningkatkan serangannya dengan mengenakan tarif tambahan sebesar 50%. Akumulasi tarif yang dibebankan AS terhadap China kini mencapai angka yang mengejutkan: 104%, yang terdiri dari tarif balasan 84% (gabungan tarif 34% dan 50%) serta tarif 20% yang telah diberlakukan sebelumnya.
"Negara-negara seperti China, yang telah memilih untuk membalas dan mencoba menggandakan perlakuan buruk mereka terhadap pekerja Amerika, telah melakukan kesalahan," tegas Sekretaris Pers Gedung Putih, Karoline Leavitt, dalam pernyataan resminya kepada wartawan pada Selasa. Leavitt menekankan bahwa Presiden Trump memiliki tekad yang kuat dan tidak akan mundur dari posisinya.
Di sisi lain, pemerintah China mengecam keras kebijakan tarif AS tersebut, menyebutnya sebagai serangkaian "kesalahan demi kesalahan". Mengutip laporan dari South China Morning Post (SCMP), sebagai respons atas tarif impor 34% dari AS, China tidak hanya menerapkan tarif balasan yang sama, tetapi juga menambahkan tarif tambahan sebesar 50%. Hal ini mengakibatkan total tarif impor barang-barang AS di China mencapai 84%.
Konsekuensi dari perang tarif ini berpotensi sangat besar. China merupakan pemasok barang terbesar kedua bagi AS pada tahun lalu, dengan total nilai ekspor mencapai US$ 439 miliar. Sebaliknya, AS mengekspor barang senilai US$ 144 miliar ke China. Penerapan tarif secara timbal balik ini mengancam akan mengganggu rantai pasokan global, merugikan industri dalam negeri di kedua negara, dan berpotensi memicu gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dalam skala besar.
Analisis dari Peterson Institute for International Economics menunjukkan bahwa pada akhir masa jabatan pertama Trump, AS telah memberlakukan tarif rata-rata sebesar 19,3% terhadap barang-barang impor dari China. Pemerintahan Biden, meskipun mengklaim mengambil pendekatan yang berbeda, tetap mempertahankan sebagian besar tarif tersebut dan bahkan menambahkan tarif tambahan, sehingga rata-rata tarif impor mencapai 20,8%. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan proteksionis dalam perdagangan AS-China telah berlangsung dalam jangka waktu yang cukup panjang dan telah mengalami eskalasi yang signifikan di bawah pemerintahan Trump.
Perang dagang ini tidak hanya berdampak pada kedua negara yang terlibat secara langsung, tetapi juga berpotensi memicu ketidakstabilan ekonomi global. Kenaikan harga barang-barang konsumsi, gangguan rantai pasokan, dan penurunan investasi merupakan beberapa dampak negatif yang dapat diantisipasi. Para ahli ekonomi internasional pun telah memperingatkan akan potensi resesi global jika konflik ini tidak segera diselesaikan melalui negosiasi dan kompromi yang konstruktif. Ketidakpastian yang ditimbulkan oleh kebijakan tarif yang fluktuatif ini juga dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan investasi asing di kedua negara.
Langkah selanjutnya dari kedua negara menjadi perhatian utama dunia. Apakah AS dan China akan terus meningkatkan eskalasi perang tarif ini, atau apakah akan ada upaya untuk kembali ke meja perundingan dan mencari solusi yang lebih damai? Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan masa depan hubungan ekonomi antara dua kekuatan ekonomi terbesar dunia dan berdampak signifikan terhadap stabilitas ekonomi global. Dunia internasional pun menantikan langkah-langkah selanjutnya dengan penuh harap akan tercapainya solusi yang dapat meredakan ketegangan dan mencegah dampak negatif yang lebih luas.