Jakarta, 22 Mei 2025 – Gelombang penolakan terhadap kebijakan Kamar Rawat Inap Standar (KRIS) BPJS Kesehatan terus menguat. Forum Jaminan Sosial (Jamsos), yang mewakili suara buruh Indonesia, secara tegas menolak Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024 yang menghapus sistem kelas dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Mereka mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk segera mengkaji ulang kebijakan kontroversial tersebut yang dinilai merugikan dan tidak adil bagi peserta, khususnya kalangan pekerja.
Jusuf Rizal, Ketua Koordinator Forum Jamsos, dalam pernyataan resminya pasca-audiensi dengan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) kemarin, menyatakan penolakan organisasi tersebut terhadap konsep KRIS. "Konsep satu ruang perawatan dalam KRIS ini bertentangan dengan prinsip keadilan," tegas Jusuf. Ia mempertanyakan bagaimana sistem ini akan menjamin akses yang setara terhadap pelayanan kesehatan bagi seluruh peserta JKN, mengingat disparitas kemampuan finansial dan kebutuhan perawatan kesehatan yang beragam di antara masyarakat. Lebih lanjut, Jusuf meminta Presiden Prabowo untuk melakukan kajian mendalam terhadap seluruh kebijakan yang berkaitan dengan jaminan sosial, mengingat dampak signifikannya terhadap kesejahteraan rakyat.
Kekhawatiran Forum Jamsos bukan tanpa dasar. Jusuf menuding kebijakan KRIS akan menimbulkan beban biaya yang luar biasa bagi BPJS Kesehatan, berpotensi mengurangi anggaran yang seharusnya dialokasikan untuk peningkatan kualitas pelayanan. Ia menekankan pentingnya optimalisasi dana yang ada untuk memperbaiki layanan yang sudah ada, bukan malah menghapus sistem kelas yang selama ini dianggap memberikan pembagian layanan yang lebih terstruktur.
Senada dengan Forum Jamsos, Ketua Institute Hubungan Industrial Indonesia, Saepul Tavip, mengungkapkan dampak negatif kebijakan KRIS terhadap kalangan buruh. "Implikasinya sangat besar bagi buruh yang selama ini terdaftar di kelas 1 dan 2. Penyatuan kelas ini akan mengakibatkan penurunan kualitas layanan yang mereka terima," ujar Tavip. Ia menilai, alih-alih menyamaratakan kelas, pemerintah seharusnya berfokus pada peningkatan kualitas layanan di kelas-kelas yang selama ini dinilai kurang memadai.
Tavip memprediksi penerapan KRIS akan berujung pada iuran tunggal bagi peserta mandiri yang nilainya berada di kisaran iuran kelas 3 dan 2 saat ini. Hal ini dikhawatirkan akan menurunkan pendapatan iuran dari peserta mandiri dan berpotensi menimbulkan defisit pembiayaan BPJS Kesehatan. "Pemerintah seharusnya memperbaiki layanan yang lemah, bukan menurunkan kualitas layanan yang sudah baik. Itulah yang kami tolak," tegas Tavip.
Ancaman aksi demonstrasi pun dilontarkan Tavip jika pemerintah tetap ngotot memberlakukan KRIS. "Jika kebijakan ini dipaksakan, kami akan turun ke jalan. Buruh akan menggunakan segala cara konstitusional untuk menolak kebijakan ini," ancamnya. Pernyataan ini menunjukkan tingkat keprihatinan dan keseriusan buruh dalam menyikapi kebijakan KRIS.
Menanggapi protes tersebut, Ketua DJSN, Nunung Nuryartono, menyatakan kesiapan lembaga yang dipimpinnya untuk menampung semua masukan dari berbagai pihak, termasuk dari kalangan buruh. "Sebagai dewan yang diberi amanah oleh undang-undang, kami menerima semua masukan untuk meningkatkan mutu layanan dan sistem perlindungan sosial di Indonesia," kata Nuryartono. Pernyataan ini, meskipun terdengar diplomatis, belum memberikan kepastian mengenai peninjauan kembali kebijakan KRIS.
Penerapan aturan KRIS BPJS Kesehatan sendiri dijadwalkan paling lambat 30 Juni 2025. Semua rumah sakit diwajibkan untuk menyelenggarakan sebagian atau seluruh pelayanan rawat inap sesuai dengan aturan KRIS, dengan mempertimbangkan kemampuan masing-masing rumah sakit. Namun, dengan adanya penolakan keras dari berbagai elemen masyarakat, khususnya kalangan buruh, implementasi kebijakan ini diprediksi akan menghadapi tantangan yang signifikan.
Pertanyaan besar kini tertuju pada sikap Presiden Prabowo Subianto. Desakan dari Forum Jamsos dan berbagai pihak terkait untuk mengkaji ulang kebijakan KRIS menjadi sorotan publik. Apakah Presiden akan merespon tuntutan tersebut dan melakukan revisi terhadap Perpres Nomor 59 Tahun 2024? Atau, apakah pemerintah akan tetap memaksakan kebijakan yang berpotensi menimbulkan gejolak sosial ini? Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan nasib program JKN dan akses masyarakat terhadap layanan kesehatan di masa mendatang. Kejelasan sikap pemerintah sangat dinantikan, mengingat potensi dampak luas dari kebijakan KRIS terhadap kesejahteraan rakyat Indonesia. Kegagalan pemerintah dalam merespon tuntutan publik dengan bijak berpotensi memicu konflik sosial yang lebih besar. Oleh karena itu, transparansi dan dialog yang konstruktif menjadi kunci dalam menyelesaikan permasalahan ini.