Jakarta, 29 Mei 2025 – Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) resmi menghapus batasan usia dalam lowongan kerja melalui Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/6/HK.04/V/2025. Aturan ini melarang segala bentuk diskriminasi dalam proses rekrutmen, termasuk batasan usia, persyaratan penampilan, dan status pernikahan. Keputusan kontroversial ini telah memicu perdebatan sengit di kalangan ekonom, pengusaha, dan masyarakat luas, menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah kebijakan ini benar-benar efektif menekan angka pengangguran, atau justru akan menjadi beban tambahan bagi dunia usaha?
Surat edaran tersebut, yang secara tegas melarang praktik diskriminatif dalam perekrutan tenaga kerja, mendapat sambutan beragam. Sebagian pihak menyambutnya sebagai langkah progresif menuju kesetaraan kesempatan kerja, sementara yang lain menganggapnya sebagai intervensi berlebihan pemerintah dalam urusan internal perusahaan.
Salah satu pihak yang menyuarakan kekhawatiran adalah ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin. Beliau berpendapat bahwa penghapusan batasan usia, yang selama ini menjadi salah satu filter awal dalam proses seleksi, berpotensi menambah beban administrasi dan operasional bagi perusahaan. "Dampak kebijakan ini terhadap penciptaan lapangan kerja relatif netral," ujar Wijayanto kepada detikcom. "Namun, potensi peningkatan kerepotan bagi dunia usaha cukup signifikan." Wijayanto menambahkan bahwa praktik penetapan batasan usia dalam rekrutmen tergolong langka di dunia internasional, dan konsep inklusivitas dalam perekrutan umumnya lebih fokus pada aspek fisik, gender, ras, suku, dan agama.
Berbeda dengan Wijayanto, Direktur Ekonomi Center of Economics and Law Studies (CELIOS), Nailul Huda, memandang positif kebijakan ini. Ia berargumen bahwa penghapusan batasan usia dapat menjadi solusi bagi tingginya angka pengangguran di kalangan usia produktif, khususnya mereka yang berusia 30-40 tahun ke atas. "Dengan semakin maraknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) belakangan ini, angka pengangguran di usia dewasa akan terus meningkat," jelas Huda. "Kebijakan ini membuka peluang bagi mereka yang kehilangan pekerjaan di usia tersebut, yang masih sangat produktif dan memiliki banyak pengalaman."
Huda juga menyoroti diskriminasi yang selama ini terjadi akibat adanya batasan usia. "Korban PHK di usia 30-40 tahun seringkali kesulitan mendapatkan pekerjaan baru, padahal kebutuhan hidup mereka justru semakin tinggi, terutama bagi mereka yang sudah berkeluarga," tegasnya. "Akibatnya, banyak yang terpaksa beralih ke sektor informal yang menawarkan kesejahteraan jauh lebih rendah." Menurutnya, penghapusan batasan usia merupakan langkah penting untuk melindungi kelompok rentan ini dan memberikan mereka kesempatan kedua untuk berkontribusi di pasar kerja formal.
Namun, pandangan berbeda datang dari Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Bob Azam. Ia berpendapat bahwa penetapan persyaratan kerja seharusnya menjadi wewenang perusahaan, bukan pemerintah. "Persyaratan kerja, terutama yang berkaitan dengan spesifikasi pekerjaan, sebaiknya ditentukan oleh perusahaan yang membutuhkan tenaga kerja, bukan diintervensi oleh pemerintah," tegas Bob kepada detikcom.
Bob mengakui bahwa tujuan kebijakan ini mulia, yaitu menghapus diskriminasi dalam dunia kerja. Namun, ia menekankan pentingnya otoritas perusahaan dalam menentukan kriteria calon karyawan yang sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik pekerjaan yang ditawarkan. Menurutnya, intervensi pemerintah dalam hal ini dapat menghambat efisiensi dan produktivitas perusahaan. Perusahaan, menurut Bob, lebih memahami kebutuhan spesifik dan mampu menentukan kriteria yang paling tepat untuk memastikan kinerja optimal.
Perdebatan seputar kebijakan ini menyoroti dilema antara upaya pemerintah untuk menekan angka pengangguran dan kepentingan perusahaan untuk mendapatkan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan. Di satu sisi, penghapusan batasan usia berpotensi membuka peluang kerja bagi kelompok usia tertentu yang selama ini terpinggirkan. Di sisi lain, kebijakan ini dapat menambah beban administrasi dan proses seleksi bagi perusahaan, yang mungkin perlu menyesuaikan strategi rekrutmen mereka.
Pertanyaan kunci yang perlu dijawab adalah bagaimana menyeimbangkan kepentingan semua pihak. Apakah perlu ada mekanisme yang lebih fleksibel, yang memungkinkan perusahaan untuk menetapkan kriteria tertentu tanpa dianggap diskriminatif? Atau, apakah perlu ada pelatihan dan program peningkatan kompetensi bagi pekerja usia lanjut agar tetap kompetitif di pasar kerja?
Implementasi kebijakan ini juga perlu dikaji lebih lanjut. Apakah pengawasan dan penegakan hukum akan berjalan efektif untuk mencegah penyalahgunaan dan diskriminasi dalam bentuk lain? Bagaimana peran pemerintah dalam memberikan dukungan dan pelatihan bagi perusahaan dan pekerja untuk beradaptasi dengan perubahan ini?
Kesimpulannya, penghapusan batasan usia dalam lowongan kerja merupakan kebijakan yang kompleks dengan konsekuensi yang luas. Dampaknya terhadap angka pengangguran dan beban perusahaan masih perlu dievaluasi secara komprehensif dalam jangka panjang. Diskusi dan kolaborasi antara pemerintah, pengusaha, dan serikat pekerja sangat krusial untuk memastikan bahwa kebijakan ini benar-benar efektif dan berkeadilan bagi semua pihak. Perlu diingat bahwa tujuan utama adalah menciptakan pasar kerja yang inklusif dan adil, di mana setiap individu memiliki kesempatan yang setara untuk berkontribusi dan berkembang sesuai dengan potensi mereka.