Pemerintah Dinilai Setengah Hati dalam Pensiun Dini PLTU: Permen ESDM No. 10/2025 Dikritik Kurang Jelas dan Ambigu

Jakarta, 22 April 2025 – Terbitnya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 10 Tahun 2025 tentang Peta Jalan (Roadmap) Transisi Energi Sektor Ketenagalistrikan disambut dengan respon beragam. Yayasan Indonesia CERAH, melalui para pakar kebijakan energinya, memberikan apresiasi atas hadirnya payung hukum ini sebagai landasan percepatan pensiun dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Namun, mereka secara tegas menilai pemerintah masih setengah hati dalam menjalankan komitmen transisi energi tersebut.

Sartika Nur Shalati, Policy Strategist dari Yayasan Indonesia CERAH, menyoroti kekurangan detail dalam Permen ESDM tersebut. Ia menilai, Permen 10/2025 gagal mencantumkan daftar spesifik PLTU yang akan dipensiunkan lebih awal, padahal sejumlah kajian terkait telah tersedia. Alih-alih memberikan kepastian, Permen ini justru menetapkan serangkaian kriteria penilaian yang bersifat kondisional untuk menentukan PLTU mana yang akan dihentikan operasinya.

“Permen ini mensyaratkan kajian dan penerapan kriteria penilaian yang meliputi kapasitas dan usia pembangkit, utilisasi, emisi gas rumah kaca, nilai tambah ekonomi, serta ketersediaan pendanaan dan dukungan teknologi dalam dan luar negeri,” jelas Sartika dalam keterangan tertulisnya. “Penilaian ini juga mempertimbangkan keandalan sistem ketenagalistrikan, dampak kenaikan biaya pokok penyediaan tenaga listrik terhadap tarif, dan aspek Transisi Energi Berkeadilan. Artinya, pensiun dini PLTU bersifat sangat kondisional dan tidak memberikan kepastian waktu pensiun bagi PLTU yang sudah seharusnya dihentikan operasinya,” tambahnya.

Lebih lanjut, Sartika menyoroti perbedaan antara Permen 10/2025 dengan pernyataan Presiden Prabowo Subianto di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 November 2024. Presiden kala itu menyatakan komitmen penghentian menyeluruh (phase out) PLTU dalam 15 tahun, atau pada tahun 2040. Namun, Permen ESDM ini tidak mencantumkan tenggat waktu yang jelas untuk penghentian operasional seluruh PLTU. Hal ini menimbulkan kekhawatiran terhadap keseriusan pemerintah dalam mencapai target pengurangan emisi gas rumah kaca.

Wicaksono Gitawan, Policy Strategist CERAH lainnya, mengungkapkan ketidakjelasan lain dalam Permen tersebut. Ia menitikberatkan pada Pasal 12 yang tidak mengatur secara rinci langkah-langkah yang akan diambil jika kajian percepatan pensiun dini PLTU melampaui batas waktu enam bulan. Keterlambatan ini, menurut Wicaksono, berpotensi menunda jadwal penghentian operasi PLTU dan menghambat proses transisi energi.

Pemerintah Dinilai Setengah Hati dalam Pensiun Dini PLTU: Permen ESDM No. 10/2025 Dikritik Kurang Jelas dan Ambigu

“Ketidakjelasan juga terlihat pada aspek Transisi Energi Berkeadilan yang diunggulkan dalam Pasal 11,” ujar Wicaksono. “Dengan bobot hanya 10,1% dalam kriteria Analytical Hierarchy Process (AHP) untuk pemilihan PLTU, pemerintah perlu menjelaskan secara detail kerangka Transisi Energi Berkeadilan yang digunakan. Kurangnya elaborasi ini menunjukkan minimnya perhatian terhadap dampak sosial dan ekonomi dari pensiun dini PLTU bagi masyarakat terdampak,” tambahnya.

Kritik lebih tajam dilayangkan terhadap pilihan teknologi transisi energi yang tercantum dalam Permen 10/2025. Wicaksono menilai beberapa teknologi yang dipromosikan, seperti co-firing (pembakaran bersama batu bara dengan biomassa, hidrogen, dan amonia) dan carbon capture and storage (CCS), justru bertentangan dengan tujuan utama pengurangan emisi.

“Teknologi-teknologi ini memberikan kesan bahwa PLTU masih akan beroperasi dan membakar batu bara hingga tahun 2060, sehingga emisi karbon tetap akan dihasilkan,” tegas Wicaksono. “Secara global, implementasi CCS pada PLTU batu bara masih terbatas dan banyak yang gagal mencapai penyerapan karbon 100%. Ini merupakan solusi palsu yang berisiko menjebak Indonesia dalam krisis iklim yang lebih parah,” tambahnya.

Lebih jauh, Wicaksono mengungkapkan bahwa proyeksi sistem ketenagalistrikan dalam Permen 10/2025 masih menyerupai Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2024, yang masih mempromosikan solusi palsu dan tidak ambisius dalam mengurangi emisi. Pemerintah, menurutnya, juga memilih teknologi berbiaya mahal seperti nuklir dan CCS, yang berpotensi membebani keuangan negara melalui subsidi atau menaikkan tarif listrik bagi masyarakat.

Kesimpulannya, Permen ESDM No. 10/2025 dianggap masih jauh dari ideal dalam mendorong pensiun dini PLTU secara konsisten dan efektif. Kurangnya kejelasan, ambiguitas dalam kriteria penilaian, dan pilihan teknologi yang dianggap kurang ambisius dalam mengurangi emisi menunjukkan keengganan pemerintah untuk benar-benar melakukan transisi energi secara cepat dan berkelanjutan. Hal ini menimbulkan kecemasan terhadap komitmen Indonesia dalam mencapai target pengurangan emisi gas rumah kaca dan mengatasi krisis iklim global. Desakan untuk revisi dan perbaikan Permen ini sangat diperlukan agar sesuai dengan komitmen internasional Indonesia dan kepentingan jangka panjang negara.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *