Pasar Gembrong Merana: Ancaman Toko Online dan Tantangan Pasar Bebas

Jakarta, 4 April 2025 – Pasar Gembrong, yang pernah menjadi kiblat perdagangan mainan anak di Jakarta, kini tengah berjuang melawan gelombang pasang toko online dan kebijakan pasar bebas. Para pedagang mengeluhkan penurunan drastis omzet, bahkan hingga separuhnya, akibat persaingan tak sehat yang memaksa mereka memotong margin keuntungan demi tetap bertahan. Kisah pilu para pedagang ini mencerminkan dampak nyata transformasi digital dan kebijakan ekonomi yang belum sepenuhnya berpihak pada pelaku usaha skala kecil dan menengah.

Ice, pemilik Toko Mainan Pelangi yang telah berdagang di Pasar Gembrong sejak 2016, menjadi salah satu contoh nyata. Ia mengungkapkan, kehadiran toko online telah secara signifikan menggerus pendapatannya. Jika sebelumnya ia mampu meraih keuntungan 20% dari modal, kini ia terpaksa puas dengan hanya 10% untuk bersaing dengan harga jual yang ditawarkan platform e-commerce. Ironisnya, toko online kerap menjual mainan dengan harga di bawah modal pedagang konvensional.

"Modal Rp 150.000, di online cuma Rp 140.000. Padahal barangnya beda, gambarnya sama. Jadi banyak orang tertipu gambarnya," ungkap Ice kepada detikcom saat ditemui di tokonya. Praktik penipuan visual ini semakin memperparah situasi pedagang konvensional yang harus berjuang melawan ketidakadilan persaingan.

Ice mengaku enggan berjualan online karena khawatir akan kerusakan barang selama pengiriman. Keputusan ini, meskipun terlihat konservatif, justru mencerminkan komitmennya terhadap kualitas produk dan kepuasan pelanggan. Namun, keputusan tersebut juga membatasi jangkauannya dan membuatnya semakin tertinggal dalam persaingan.

Dampaknya terasa nyata. Jika dulu, di hari biasa, omzet Ice bisa mencapai Rp 8 juta dari Senin hingga Kamis, kini pendapatannya merosot drastis menjadi hanya Rp 1 juta hingga Rp 3 juta dalam periode yang sama. "Penjualan hari biasa sepi banget. Segede ini toko kadang-kadang cuma sejuta (per hari)," keluhnya.

Pasar Gembrong Merana: Ancaman Toko Online dan Tantangan Pasar Bebas

Penurunan pengunjung Pasar Gembrong, menurut Ice, bukan hanya disebabkan oleh toko online. Relokasi dan pandemi COVID-19 juga turut berperan. Namun, ia menilai kebijakan pasar bebas yang membuka kran masuknya pedagang asing menjadi faktor penentu yang memperburuk keadaan. Pedagang asing, kata Ice, seringkali memanfaatkan celah dengan mencatut nama pedagang lokal untuk menjual mainan dengan harga jauh di bawah harga pokok produksi.

"Kadang kita kalau ngomong pun susah juga ke Pemerintah. Kan sebenarnya dampaknya kan dari pemerintah juga yang bikin pasar bebas," ujarnya, menyuarakan keprihatinan atas kurangnya perlindungan bagi pedagang lokal.

Sentimen serupa diungkapkan oleh Alvi, pemilik Komahkota Toys. Ia mengakui bahwa toko online menjadi ancaman serius bagi bisnisnya. Harga jual yang ditawarkan platform e-commerce jauh lebih rendah daripada harga modal yang ia keluarkan.

Dampaknya terlihat jelas pada momentum Lebaran 2025. Omzet Alvi justru turun hampir 50% dibandingkan tahun sebelumnya. Jika tahun lalu ia mampu meraup Rp 15 juta per hari, kini pendapatannya hanya sekitar Rp 8 juta per hari. Di luar hari raya, pendapatannya semakin memprihatinkan, hanya berkisar antara Rp 500.000 hingga Rp 1 juta per hari. Penurunan ini, menurut Alvi, telah terjadi sejak awal tahun 2025.

"Cuma kan kita kan, namanya mengontrak (sewa ruko) ya kan, nggak bisa lah gitu menyamakan dengan online," tuturnya, mengakui kesulitan bersaing dengan model bisnis online yang memiliki biaya operasional yang jauh lebih rendah.

Kisah Ice dan Alvi hanyalah sebagian kecil dari permasalahan yang dihadapi pedagang di Pasar Gembrong. Mereka mewakili ribuan pelaku usaha kecil dan menengah yang terjepit di antara gempuran toko online, kebijakan pasar bebas, dan dampak pandemi. Keberadaan mereka, yang selama ini menjadi bagian penting dari ekonomi kerakyatan, kini terancam hilang tergilas oleh arus digitalisasi dan persaingan global yang belum sepenuhnya berimbang.

Permasalahan ini membutuhkan solusi komprehensif dari pemerintah. Bukan hanya sekadar memberikan pelatihan digital, tetapi juga merumuskan kebijakan yang melindungi pedagang lokal dari persaingan tak sehat, serta memberikan akses yang lebih mudah bagi mereka untuk memasuki pasar digital dengan dukungan infrastruktur dan pendampingan yang memadai. Pemerintah perlu memastikan agar transformasi digital tidak hanya menguntungkan segelintir pemain besar, tetapi juga memberikan kesempatan yang setara bagi para pelaku usaha kecil dan menengah untuk tetap bertahan dan berkembang. Nasib Pasar Gembrong, dan pasar tradisional lainnya, menjadi cerminan dari keberhasilan pemerintah dalam menyeimbangkan kemajuan ekonomi digital dengan keberlanjutan ekonomi kerakyatan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *