Jakarta, 6 Maret 2025 – Polemik pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) kepada pengemudi ojek online (ojol) kembali mencuat. PT Maxim Indonesia, salah satu perusahaan penyedia layanan transportasi online, secara tegas menyatakan tidak akan memberikan THR kepada para mitranya. Keputusan ini diambil dengan alasan status hubungan kemitraan antara perusahaan dan pengemudi, serta kondisi keuangan perusahaan yang dinilai tidak memungkinkan untuk menanggung beban tambahan tersebut.
Pernyataan resmi ini disampaikan oleh Spesialis Humas Maxim Indonesia, Yuan Ifdal Khoir, melalui keterangan tertulis yang diterima redaksi pada Kamis (6/3/2025). Yuan menjelaskan bahwa kebijakan Maxim tersebut didasarkan pada interpretasi perusahaan terhadap regulasi yang berlaku. Ia merujuk pada Pasal 5 Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Tahun 2021, serta Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 12 Tahun 2019 dan Nomor 118 Tahun 2018, yang menurutnya tidak mewajibkan perusahaan memberikan THR kepada mitra kerja yang terikat dalam skema kemitraan, bukan hubungan kerja formal sebagai karyawan.
"Terkait tuntutan pemberian THR dari mitra pengemudi, Maxim memandang bahwa tuntutan tersebut dan usulan dari Kementerian Ketenagakerjaan tidak sesuai dengan status hubungan kami dengan para mitra pengemudi. Hubungan ini bersifat kemitraan, bukan hubungan kerja antara pemberi kerja dan karyawan," tegas Yuan.
Lebih lanjut, Yuan menekankan bahwa pemberian THR dalam waktu yang singkat, tanpa perencanaan yang matang, dinilai tidak tepat. Ia menyarankan agar pemerintah perlu menyikapi isu pemberian THR kepada pengemudi ojol secara komprehensif dan menyeluruh, mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk aspek hukum dan ekonomi. Maxim, menurutnya, tengah berdiskusi intensif dengan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) untuk mencari solusi yang lebih tepat dan berkelanjutan terkait permasalahan ini.
"Secara finansial, Maxim Indonesia saat ini tidak mampu memberikan THR kepada mitra pengemudi berdasarkan regulasi yang ada dan kondisi ekonomi perusahaan," ujar Yuan. Pernyataan ini mengindikasikan bahwa perusahaan tengah menghadapi tekanan ekonomi yang signifikan, sehingga pemberian THR kepada ribuan mitranya dianggap sebagai beban yang terlalu berat untuk ditanggung.
Sebagai alternatif, Maxim menyatakan telah menyiapkan berbagai program Bantuan Hari Raya untuk meringankan beban para mitranya selama periode Lebaran. Program-program tersebut antara lain berupa bantuan bahan pokok bagi mitra pengemudi dan masyarakat sekitar yang membutuhkan. Selain itu, perusahaan juga memberikan insentif berupa pengurangan komisi aplikasi bagi mitra yang menyelesaikan orderan dalam jumlah tertentu. Terakhir, Maxim juga memberikan santunan bagi mitra pengemudi yang mengalami kecelakaan atau musibah.
Namun, langkah Maxim ini menuai kritik dari berbagai pihak, termasuk serikat pekerja dan para aktivis buruh. Mereka menilai argumen Maxim terkait status kemitraan dan kondisi keuangan perusahaan terkesan sebagai upaya untuk menghindari kewajiban memberikan THR yang seharusnya menjadi hak para pengemudi ojol. Para kritikus berpendapat bahwa meskipun hubungannya disebut kemitraan, para pengemudi ojol tetap bergantung secara ekonomi pada platform Maxim dan bekerja secara intensif untuk mendapatkan penghasilan. Oleh karena itu, mereka berhak mendapatkan perlindungan dan kesejahteraan yang memadai, termasuk THR.
Perdebatan mengenai status hubungan kerja antara perusahaan aplikasi transportasi online dengan para pengemudi ojol memang telah berlangsung lama. Perbedaan interpretasi terhadap regulasi yang berlaku seringkali menjadi titik perselisihan. Pihak perusahaan cenderung menekankan aspek kemitraan dan kebebasan para pengemudi dalam menentukan jam kerja dan jumlah orderan, sementara para pengemudi dan pendukungnya lebih menekankan pada aspek ketergantungan ekonomi dan kontrol yang dilakukan oleh perusahaan terhadap aktivitas mereka.
Kasus Maxim ini kembali menyoroti perlunya regulasi yang lebih jelas dan tegas terkait perlindungan pekerja platform digital. Regulasi yang ada saat ini dinilai masih ambigu dan belum mampu mengakomodasi dinamika perkembangan ekonomi digital yang begitu pesat. Ketidakjelasan regulasi ini berpotensi menimbulkan kesenjangan dan ketidakadilan bagi para pekerja platform digital yang jumlahnya semakin meningkat setiap tahun.
Ke depan, diperlukan upaya kolaboratif antara pemerintah, perusahaan aplikasi, dan perwakilan pekerja untuk mencari solusi yang adil dan berkelanjutan. Solusi ini harus mampu melindungi hak-hak pekerja platform digital tanpa menghambat perkembangan inovasi dan pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia. Pembahasan yang komprehensif dan melibatkan semua pemangku kepentingan sangat krusial untuk menciptakan ekosistem ekonomi digital yang inklusif dan berkeadilan bagi semua pihak.
Pernyataan Maxim yang menolak memberikan THR juga memicu pertanyaan mengenai transparansi keuangan perusahaan. Kritik muncul terkait kurangnya informasi detail mengenai kondisi keuangan perusahaan yang dijadikan alasan untuk tidak memberikan THR. Transparansi yang lebih tinggi diperlukan agar publik dapat menilai secara objektif argumen yang disampaikan oleh perusahaan.
Kesimpulannya, keputusan Maxim untuk tidak memberikan THR kepada para mitranya telah memicu perdebatan yang kompleks dan menyoroti celah regulasi serta ketidakseimbangan dalam hubungan antara perusahaan platform digital dan para pekerjanya. Permasalahan ini memerlukan solusi yang holistik dan berkelanjutan, melibatkan semua pihak terkait untuk menciptakan ekosistem ekonomi digital yang lebih adil dan berkelanjutan bagi semua. Ke depan, perlu adanya regulasi yang lebih komprehensif dan jelas untuk melindungi hak-hak pekerja platform digital, termasuk memastikan mereka mendapatkan perlindungan dan kesejahteraan yang memadai, termasuk THR.