Oleh: Tim Redaksi Gagal Fokus
Jakarta — Dalam beberapa tahun terakhir, muncul pertanyaan yang bikin gelisah dan bikin netizen cekcok di kolom komentar: “Apakah Indonesia bubar di tahun 2030?” Ramalan ini bukan keluar dari tukang ramal keliling atau kakek-kakek yang pegang batu akik ajaib, tapi dari laporan serius sejumlah lembaga internasional, termasuk CIA dan RAND Corporation. Serius, bukan hoax dari grup WhatsApp keluarga.
Tapi tenang, Indonesia belum bubar—setidaknya sampai artikel ini ditulis. Jadi, yuk kita ulas kenapa ramalan ini bisa viral, bagaimana respon rakyat dan elit politik, serta apa saja yang bikin Indonesia masih bisa jadi negara bersatu dengan harga BBM naik-turun.
Awal Mula Ramalan Kiamat 2030
Ramalan “Indonesia bubar 2030” pertama kali meledak setelah Prabowo Subianto—waktu itu masih capres abadi dan sekarang Menteri Pertahanan—mengutip hasil kajian dari lembaga riset luar negeri. Ia menyebutkan bahwa kalau elite politik Indonesia terus egois dan tidak peduli pada rakyat kecil, negeri ini bisa terpecah-belah seperti camilan kerupuk yang jatuh ke lantai. Pedas, tapi masuk akal.
Kajian tersebut menyebutkan potensi disintegrasi sosial, ancaman konflik horizontal, ketimpangan ekonomi, serta korupsi yang masih tumbuh subur seperti tanaman liar di kebun kosong. Ditambah lagi, isu lingkungan, perubahan iklim, dan bonus demografi malah bisa jadi bumerang jika tidak dikelola dengan benar. Indonesia seperti remaja puber: punya potensi besar, tapi gampang salah jalan.
Tanda-Tanda: Cek Kesehatan Nasional
1. Ketimpangan Ekonomi
Data BPS menunjukkan bahwa ketimpangan antara si kaya dan si miskin makin dramatis. Sebagian orang bisa liburan ke Maldives tiap bulan, sementara sebagian lainnya nunggu promo diskon Indomie. Rasio Gini memang sempat turun, tapi masih di level yang bikin gelisah. Jika dibiarkan, ketimpangan ini bisa jadi bom waktu sosial.
2. Disinformasi dan Polarisasi
Media sosial berubah jadi medan perang virtual. Pemilu 2014 dan 2019 menciptakan “cebong vs kampret”, dan sampai sekarang banyak yang masih belum move on. Polarisasi ini bukan hanya merusak debat publik, tapi juga memecah belah keluarga. Ibu dan anak bisa bertengkar hanya karena beda pilihan capres. Serius.
3. Pendidikan dan SDM yang Amburadul
Meskipun pemerintah gembar-gembor soal “Merdeka Belajar”, kenyataannya kualitas pendidikan kita masih kalah jauh dari negara tetangga. Nilai PISA jeblok, guru digaji pas-pasan, dan banyak anak muda lebih tertarik jadi seleb TikTok ketimbang insinyur atau peneliti. Generasi penerus? Bisa, tapi harus upgrade dulu.
Respon Pemerintah: Serius Tapi Kadang Seperti Lelucon
Presiden Jokowi dan kabinetnya mengklaim bahwa Indonesia tidak akan bubar, justru sedang menuju “Indonesia Emas 2045”. Visi ini memang mulia, lengkap dengan pembangunan infrastruktur, transformasi digital, dan Ibu Kota Negara (IKN) baru di Kalimantan Timur. Tapi masalahnya, jalan ke sana penuh lubang dan tikungan tajam.
IKN Nusantara, misalnya, masih kontroversial. Banyak yang bertanya: “Apakah ini solusi atau pelarian?” Apalagi belum jelas siapa yang benar-benar mau pindah ke sana selain ASN yang nggak punya pilihan. Tapi ya, setidaknya itu menunjukkan kita masih punya imajinasi.
Rakyat Jelata: Bingung Tapi Tetap Optimis Tidak Ada Indonesia Bubar 2030
Di warung kopi, obrolan soal “Indonesia bubar” sering diakhiri dengan, “Yah, semoga nggak ya.” Masyarakat bawah sebenarnya lebih peduli soal harga sembako, listrik, dan sinyal internet yang hilang mendadak. Tapi tetap, kekhawatiran soal masa depan bangsa tetap ada, meski dibungkus tawa dan candaan receh.
“Kalau Indonesia bubar, terus KTP kita gimana? Jadi KTP Bekasi merdeka?” canda seorang netizen yang viral di Twitter.
Fakta Positif yang Bikin Kita Tetap Punya Harapan
Meskipun ramalan-ramalan suram itu menyeramkan, ada beberapa indikator yang bikin kita boleh sedikit lega:
-
Bonus Demografi – Generasi muda Indonesia sedang dalam puncaknya. Kalau diarahkan dengan benar, ini bisa jadi mesin pertumbuhan ekonomi dan inovasi.
-
UMKM Tumbuh Pesat – Meskipun banyak usaha kolaps saat pandemi, semangat wirausaha masih kuat. Anak muda mulai bangun usaha dari rumah, dari jualan keripik sampai bikin startup AI.
-
Digitalisasi Merambah Desa – Dengan penetrasi internet yang makin luas, akses informasi makin merata. Petani bisa jual hasil panen lewat marketplace, bukan lagi lewat tengkulak rakus.
-
Kebangkitan Rasa Nasionalisme Baru – Anak muda mulai lebih sadar soal pentingnya politik, demokrasi, dan peran mereka dalam perubahan. Demonstrasi bukan hanya soal BBM, tapi juga soal iklim, pendidikan, dan HAM.
Jadi, Indonesia Bubar 2030 ?
Jawabannya: mungkin tidak. Tapi mungkin juga, kalau kita terus asik ribut di media sosial sambil cuek pada realita sosial. Ramalan bukan vonis, tapi peringatan. Indonesia bisa bubar, tapi juga bisa bangkit jadi kekuatan baru dunia. Semua tergantung dari kita: mau saling menyalahkan atau saling membangun.
Di akhir hari, seperti kata pepatah: “Negara bisa bubar, tapi netizen tetap nyinyir.” Dan mungkin, justru itu yang bikin kita tetap bersatu. Saling sindir, saling ngatain, tapi tetap satu nusa satu bangsa.
Penutup:
2030 masih lima tahun lagi. Kita masih punya waktu buat berbenah. Tapi jangan nunggu sampai detik terakhir. Kalau rumah udah bocor, jangan tunggu hujan deras buat perbaiki atap. Jadi, mari kita mulai dari hal kecil: jujur, kerja keras, peduli sekitar, dan tentu saja… tidak menyebarkan hoax di grup WhatsApp keluarga.
Indonesia bubar? Enggak, kita kan kuat… asal enggak saling tusuk dari belakang sambil bilang “merdeka!”