Leasing dan Kewajiban Mendukung UMKM: Antara Peluang dan Tantangan

Jakarta, 8 Mei 2025 – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tengah merumuskan regulasi baru yang akan mewajibkan Lembaga Keuangan Non-Bank (LKNB), termasuk perusahaan leasing, untuk secara aktif berperan dalam pembiayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Regulasi ini, yang akan dituangkan dalam Peraturan OJK (POJK) UMKM, saat ini masih dalam tahap kajian intensif oleh OJK dan DPR. Langkah ini didorong oleh peran vital UMKM dalam perekonomian Indonesia.

Data menunjukkan bahwa UMKM mendominasi lanskap bisnis nasional, dengan 99% pelaku usaha berasal dari sektor ini. Kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 61%, melampaui capaian negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand. Lebih lanjut, UMKM menyerap tenaga kerja hingga 97%, menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia.

Namun, di balik kontribusi signifikan tersebut, sektor UMKM masih menghadapi tantangan dalam akses pembiayaan. Salah satu kendalanya adalah tingginya angka kredit macet atau Non-Performing Loan (NPL) di sektor perbankan. Data OJK per Februari 2025 menunjukkan NPL gross UMKM mencapai 4,15%, melampaui rata-rata industri perbankan. Pertumbuhan kredit UMKM pun relatif lambat, tercatat sebesar 2,51% year-on-year (yoy) dan 0,17% month-on-month (mtm), dengan porsi hanya 19,08% dari total kredit industri perbankan. Kondisi ini menuntut manajemen risiko yang lebih ketat dan prinsip kehati-hatian dalam penyaluran pembiayaan UMKM di sektor perbankan.

Pertanyaan kunci yang muncul adalah: bagaimana risiko kredit bagi industri LKNB, khususnya perusahaan leasing, dalam pembiayaan UMKM? Beberapa perusahaan leasing terkemuka, seperti PT CIMB Niaga Auto Finance Tbk (CNAF) dan PT Adira Dinamika Multi Finance Tbk (ADMF), memberikan gambaran mengenai kondisi tersebut.

CNAF, misalnya, melaporkan rasio Non-Performing Financing (NPF) pada kuartal I 2025 sebesar 1,42%, jauh di bawah rata-rata industri yang mencapai 2,96% per Januari 2025. Perusahaan ini menyalurkan pembiayaan untuk sektor produktif sebesar Rp 359,79 miliar, meningkat 30% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (Rp 275,80 miliar). Presiden Direktur CNAF, Ristiawan Suherman, mengakui tingginya risiko kredit UMKM, namun menekankan langkah mitigasi yang diterapkan perusahaan, yaitu memperketat metode risk based pricing. Metode ini menetapkan suku bunga berdasarkan tingkat risiko masing-masing nasabah, sehingga diharapkan mampu menjaga kualitas kinerja perusahaan.

Leasing dan Kewajiban Mendukung UMKM: Antara Peluang dan Tantangan

Ristiawan melihat POJK UMKM sebagai peluang, bukan ancaman. Menurutnya, kebijakan ini akan mengoptimalkan pasar domestik dan memberikan akses yang lebih baik bagi UMKM untuk mengembangkan usaha mereka di tengah ketidakpastian ekonomi global. "Pemerintah mewadahi dan memfasilitasi UMKM, dan CNAF hadir sebagai solusi finansial untuk membantu sektor UMKM mendapatkan pembiayaan modal kerja atau investasi. Upaya ini merupakan bentuk penguatan ekonomi Indonesia," tegas Ristiawan.

Senada dengan CNAF, PT Adira Dinamika Multi Finance Tbk (ADMF) juga menunjukkan kinerja yang stabil. NPF ADMF tercatat di level 2,3%, masih di bawah rata-rata industri. Perusahaan ini telah menyalurkan pembiayaan baru di sektor UMKM sebesar Rp 1,3 triliun, atau sekitar 17% dari total portofolio. Chief of Financial Officer Adira Finance, Sylvanus Gani M, menyambut baik POJK UMKM karena diyakini dapat mendorong pertumbuhan kredit UMKM dan meningkatkan inklusi keuangan. Namun, ia juga mengakui tantangan terkait profil risiko UMKM yang relatif tinggi. "Adira Finance berkomitmen untuk terus mendukung pembiayaan UMKM secara berkelanjutan dengan menerapkan manajemen risiko yang prudent," ujar Gani.

Dari sisi regulator, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, menjelaskan bahwa dalam penyusunan POJK UMKM, OJK telah berkoordinasi dengan Kementerian UMKM. POJK ini mencakup berbagai LKNB, termasuk perusahaan pembiayaan, modal ventura, lembaga keuangan mikro, perusahaan pergadaian, fintech (LPBBTI), Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia, hingga perusahaan permodalan madani. "RPOJK UMKM merupakan komitmen OJK untuk mendukung pengembangan dan pemberdayaan UMKM serta meningkatkan akses pembiayaan dari bank dan LKNB," kata Dian.

POJK UMKM yang tengah disusun OJK terbagi dalam lima tahapan pembiayaan: perencanaan penyaluran, penerimaan permohonan kredit, analisa kelayakan, pemberian kredit, dan penyelesaian. Tahapan ini dirancang untuk mempermudah akses pembiayaan UMKM, termasuk penyederhanaan persyaratan dan percepatan proses bisnis. Dalam hal pemberian kredit, bank dan LKNB diwajibkan melakukan monitoring dan penetapan bobot risiko yang lebih rendah dibandingkan kredit non-UMKM.

Kesimpulannya, regulasi baru yang tengah digodok ini membawa peluang dan tantangan bagi industri leasing. Di satu sisi, peningkatan akses pembiayaan UMKM akan membuka pasar yang lebih luas. Di sisi lain, perusahaan leasing perlu memperkuat manajemen risiko dan menerapkan strategi yang tepat untuk mengelola potensi NPF yang lebih tinggi. Keberhasilan implementasi POJK UMKM akan sangat bergantung pada kemampuan LKNB untuk menyeimbangkan antara tujuan inklusi keuangan dengan pengelolaan risiko yang efektif dan berkelanjutan, demi mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia yang inklusif dan berkelanjutan. Peran pengawasan OJK pun menjadi sangat krusial dalam memastikan implementasi regulasi ini berjalan efektif dan mencapai tujuannya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *