Krisis Kedelai dan Daging Babi AS: Dampak Devastasi Kebijakan Proteksionis Trump

Industri pertanian Amerika Serikat (AS) tengah menghadapi badai sempurna akibat kebijakan proteksionis mantan Presiden Donald Trump. Penerapan tarif resiprokal terhadap China, yang dimulai pada April 2025, telah mengakibatkan ambruknya ekspor kedelai dan daging babi AS ke pasar Tiongkok, mengakibatkan kerugian ekonomi yang mencapai ratusan triliun rupiah dan mengancam mata pencaharian ribuan petani Amerika.

Selama bertahun-tahun, China telah menjadi pasar ekspor utama bagi komoditas pertanian AS, termasuk kedelai dan daging babi. Pada tahun 2024, ekspor kedelai AS ke China mencapai angka fantastis: lebih dari US$ 12,8 miliar atau setara dengan Rp 207,57 triliun (dengan kurs Rp 16.217 per dolar AS). Sementara itu, ekspor daging babi juga signifikan, mencapai 70.153 ton. Keberhasilan ini dibangun atas kerja keras para petani dan kontribusi signifikan terhadap perekonomian AS.

Namun, kejayaan ini sirna seketika setelah penerapan tarif. Awalnya, pada Maret 2025, China mengenakan tarif 10% terhadap kedelai dan daging babi AS sebagai balasan atas tarif 20% yang dijatuhkan AS terhadap barang-barang Tiongkok. Meskipun demikian, ekspor kedelai masih berlanjut, mencapai lebih dari 340.000 ton hingga 3 April 2025. Namun, titik balik terjadi setelah Trump kembali mengumumkan kebijakan tarif resiprokal yang lebih luas, termasuk terhadap China.

Sejak pengumuman tersebut, ekspor kedelai AS ke China mengalami penurunan drastis. Angka ekspor merosot tajam dari 340.000 ton menjadi hanya 68.000 ton. Pada Mei 2025, ekspor kedelai AS ke China nyaris mencapai titik nol, menandakan terhentinya hampir seluruh perdagangan komoditas ini antara kedua negara. Situasi ini bukan sekadar penurunan, melainkan kegagalan total pasar. Laporan dari South China Morning Post (SCMP) mengungkapkan bahwa pemerintah China telah secara resmi menyatakan fokus pada peningkatan produksi kedelai dalam negeri dan efisiensi sektor pakan ternak untuk mengurangi ketergantungan pada impor. Hal ini mengindikasikan bahwa kebijakan proteksionis Trump telah berhasil mendorong China untuk mencari alternatif pasokan, sekaligus menghancurkan pasar ekspor AS.

Nasib serupa menimpa ekspor daging babi. Setelah kebijakan tarif resiprokal Trump diluncurkan pada April 2025, pembeli Tiongkok membatalkan pesanan lebih dari 12.000 ton daging babi AS – pembatalan pesanan terbesar sejak pandemi Covid-19. Pada minggu pertama Mei 2025, pengiriman daging babi AS ke China anjlok menjadi hanya 24 ton, dan kemudian sepenuhnya berhenti pada minggu berikutnya. Meskipun sempat terjadi sedikit pemulihan setelah gencatan senjata tarif, dengan pengiriman mencapai 200 ton pada minggu yang berakhir 15 Mei, pemulihan ini sangatlah kecil dan tidak cukup untuk menyelamatkan industri dari dampak yang sudah sangat parah.

Krisis Kedelai dan Daging Babi AS: Dampak Devastasi Kebijakan Proteksionis Trump

Dampak dari kebijakan ini meluas dan mendalam. Ribuan petani AS yang menggantungkan hidup pada ekspor kedelai dan daging babi kini menghadapi kerugian finansial yang signifikan. Kehilangan pasar China, yang selama ini menjadi tulang punggung industri, telah menciptakan ketidakpastian ekonomi yang besar dan mengancam keberlanjutan usaha mereka. Banyak petani yang mungkin terpaksa mengurangi produksi, bahkan gulung tikar, mengakibatkan dampak domino pada perekonomian lokal dan nasional.

Lebih dari sekadar kerugian ekonomi, kejadian ini menyoroti bahaya proteksionisme dan perang dagang. Kebijakan yang didasarkan pada nasionalisme ekonomi sempit ini tidak hanya merugikan negara lain, tetapi juga dapat berbalik menyerang negara yang menerapkannya. Dalam kasus ini, upaya Trump untuk melindungi industri dalam negeri justru telah menghancurkan sektor pertanian AS, menunjukkan kegagalan strategi proteksionis dalam jangka panjang.

Krisis ini juga menimbulkan pertanyaan tentang kemampuan AS untuk bersaing di pasar global. Kehilangan pangsa pasar kedelai dan daging babi kepada China menunjukkan kerentanan industri pertanian AS terhadap kebijakan proteksionis dan perubahan geopolitik. Pemerintah AS perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan perdagangannya dan mengembangkan strategi yang lebih berkelanjutan untuk mendukung para petani dan memastikan daya saing di pasar internasional. Kejadian ini menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya kerja sama internasional dan perdagangan bebas yang adil untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Ke depannya, perlu ada upaya untuk membangun kembali kepercayaan dan hubungan perdagangan yang sehat dengan China, sekaligus memperkuat daya saing industri pertanian AS di pasar global. Kegagalan untuk melakukannya akan berdampak lebih jauh dan lebih luas, tidak hanya bagi petani AS, tetapi juga bagi stabilitas ekonomi global.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *