Kopdes Merah Putih: Harapan dan Kekhawatiran di Tengah Pergulatan Ekonomi Pedesaan

Program Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih tengah menjadi sorotan, di tengah harapan akan mampu memberdayakan petani dan mengurangi dominasi tengkulak serta rentenir, sekaligus kekhawatiran akan potensi inefisiensi dan sentralisasi kekuasaan. Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI), Henry Saragih, optimistis Kopdes Merah Putih dapat menjadi solusi bagi permasalahan ekonomi pedesaan yang selama ini didominasi oleh perusahaan besar dan praktik-praktik ekonomi yang merugikan petani. Dalam wawancara dengan detikcom pada Selasa (15/4/2025), Saragih menyatakan keyakinannya bahwa Kopdes Merah Putih mampu mengambil alih peran-peran tersebut, memberdayakan petani melalui pengelolaan sumber daya desa secara mandiri.

"Menurut kita bisa, bisa akan mengambil alih peran-peran yang selama ini dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar yang menurut kita itu tidak menguntungkan kepada petani. Rakyat bisa mengelolanya melalui koperasi-koperasi tersebut," tegas Saragih. Ia menekankan pentingnya peran aktif petani dan masyarakat desa dalam pengelolaan Kopdes Merah Putih, bukan sebaliknya, di mana pemerintah justru menjadi pengelola utama. Saragih berharap pemerintah berperan sebagai fasilitator, mendorong lahirnya dan pertumbuhan Kopdes Merah Putih, serta mendukung koperasi-koperasi lain yang telah ada dari inisiatif petani, termasuk memberikan kemudahan dalam proses pendirian dan pengembangannya. Menurutnya, Kopdes Merah Putih seharusnya menjadi pelengkap dan pendamping bagi koperasi-koperasi yang sudah ada, bukan menggantikannya secara total.

Namun, pandangan tersebut tidak sepenuhnya dibagi oleh semua pihak. Media Wahyu Askar, Direktur Kebijakan Publik dari Center of Economic and Law Studies (Celios), menganggap fokus pada pemberantasan tengkulak bukanlah solusi utama permasalahan ekonomi pedesaan saat ini. Dalam wawancara terpisah dengan detikcom pada Sabtu (19/4/2025), Askar menyatakan bahwa tantangan yang lebih besar terletak pada desain kebijakan, regulasi, dan model pembiayaan yang efektif dan efisien. Ia mempertanyakan efektivitas program Kopdes Merah Putih dengan anggaran yang fantastis.

"Sekarang tantangannya adalah soal desain kebijakan. Kalau desain kebijakan, regulasi, dan model pembiayaan seperti sekarang, yang terjadi adalah inefisiensi anggaran. Ada potensi kekacauan pembiayaan. Tidak yakin juga bisa mengatasi tengkulak," ujar Askar. Kekhawatiran Askar semakin diperkuat oleh informasi yang ia bagikan melalui media sosialnya. Askar menyoroti rencana pengalokasian anggaran sebesar Rp 400 triliun untuk pembentukan 80.000 Kopdes Merah Putih. Angka tersebut dinilai sangat besar dan berpotensi menimbulkan inefisiensi anggaran. Lebih jauh, Askar menyinggung adanya penolakan dari kepala desa yang kritis terhadap rencana tersebut, karena dikhawatirkan akan memangkas dana desa yang seharusnya dialokasikan untuk keperluan lain yang lebih mendesak dan vital bagi perkembangan desa. Program ini juga dinilai berpotensi mematikan upaya pengembangan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang sudah berjalan.

Askar juga mengkritik rencana menjadikan seluruh penerima bantuan sosial (bansos) sebagai anggota Kopdes Merah Putih, serta kemungkinan pembebanan utang dari bank plat merah kepada desa. Menurutnya, langkah tersebut bertentangan dengan prinsip dasar koperasi yang berbasis sukarela dan berlandaskan asas kekeluargaan, di mana koperasi dibangun oleh anggota, untuk anggota. Ia menekankan bahwa setiap desa memiliki keunikan, potensi, dan permasalahan yang berbeda-beda, sehingga pendekatan yang seragam dan tersentralisasi justru akan kontraproduktif.

Kopdes Merah Putih: Harapan dan Kekhawatiran di Tengah Pergulatan Ekonomi Pedesaan

"Langkah ini berlawanan dengan semangat koperasi yang berbasis ‘sukarela’, dan membangun dari anggota, oleh anggota, untuk anggota. Desa punya keunikan, potensi, dan masalah yang berbeda. Sekarang, pemerintah menggunakan tangannya untuk melakukan penyeragaman program, tersentralisasi dan berpotensi menjadi alat kontrol politik, mengerdilkan peran desa. Kebijakan ini justru menarik mundur semangat membangun dari desa yang digagas oleh pendahulu bangsa," tegas Askar. Ia khawatir program ini justru akan menjadi alat kontrol politik dan mengerdilkan peran serta inisiatif masyarakat desa. Program yang seharusnya memberdayakan masyarakat justru berpotensi menjadi beban dan menghambat perkembangan ekonomi desa secara organik.

Kesimpulannya, program Kopdes Merah Putih menyimpan potensi besar untuk memberdayakan petani dan memperbaiki kondisi ekonomi pedesaan, namun juga dihadapkan pada sejumlah tantangan dan potensi permasalahan. Keberhasilan program ini sangat bergantung pada desain kebijakan yang tepat, mekanisme pengawasan yang efektif, serta partisipasi aktif dan sukarela dari masyarakat desa. Jika tidak dikelola dengan baik, program ini berpotensi menjadi inefisien, menimbulkan beban baru bagi desa, dan justru menghambat perkembangan ekonomi pedesaan yang berkelanjutan. Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi dan revisi yang komprehensif terhadap program ini, dengan melibatkan partisipasi aktif dari para pemangku kepentingan, termasuk petani, pemerintah desa, dan para ahli ekonomi pedesaan, untuk memastikan agar program ini benar-benar dapat mencapai tujuannya dan memberikan manfaat nyata bagi masyarakat. Keberhasilan Kopdes Merah Putih bukan hanya terletak pada jumlah koperasi yang terbentuk, tetapi lebih kepada sejauh mana program ini mampu meningkatkan kesejahteraan dan kemandirian ekonomi masyarakat pedesaan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *