Jakarta, 23 Mei 2025 – Tingkat ketepatan waktu (On Time Performance/OTP) penerbangan domestik di Indonesia mengalami penurunan pada kuartal pertama tahun 2025, memicu kekhawatiran terhadap kinerja industri penerbangan nasional. Data Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menunjukkan angka OTP hanya mencapai 78,7%, menurun dibandingkan periode yang sama tahun 2024 yang mencapai 79,73%. Penurunan ini menjadi sorotan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi V DPR RI dengan Kemenhub, Kamis (22/5/2025).
Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kemenhub, Lukman F. Laisa, menjelaskan beberapa faktor yang berkontribusi terhadap peningkatan keterlambatan penerbangan domestik. Ia menyebutkan faktor teknis operasional manajemen maskapai dan kondisi cuaca sebagai penyebab utama. Namun, Lukman menekankan bahwa faktor cuaca memiliki pengaruh yang lebih dominan. "Beberapa faktor penyebab keterlambatan penerbangan domestik mencakup faktor teknis operasional manajemen maskapai dan cuaca. Namun, cuaca menjadi faktor yang lebih berpengaruh," tegas Lukman dalam RDP tersebut.
Meskipun demikian, angka OTP selama periode angkutan Lebaran (21 Maret – 11 April 2025) menunjukkan peningkatan, mencapai 83% untuk rute domestik dan 91,88% untuk rute internasional. Lukman menjelaskan perbedaan signifikan ini disebabkan oleh perbedaan infrastruktur dan fasilitas bandara. Bandara internasional, menurutnya, umumnya memiliki fasilitas yang lebih baik, sehingga proses transit penumpang dapat berjalan lebih efisien dan cepat.
Namun, permasalahan utama tampaknya terletak pada penerbangan domestik, khususnya yang melibatkan transit di dalam negeri. Presiden Direktur Lion Air Group, Daniel Putut Kuncoro Adi, dalam RDP yang sama, mengungkapkan tantangan signifikan yang dihadapi maskapai dalam menjaga OTP, terutama terkait dengan proses transit antar terminal di bandara-bandara Indonesia. Ia menyoroti kompleksitas perpindahan penumpang antar terminal yang berbeda, terutama di bandara besar seperti Soekarno-Hatta.
Daniel memberikan contoh kasus penerbangan yang dipesan melalui Online Travel Agent (OTA) yang seringkali menggabungkan penerbangan dari dua maskapai berbeda dengan transit di Jakarta. "Misalnya, penerbangan dari Medan ke Jayapura dengan transit di Jakarta. Penumpang mungkin menggunakan Lion Air dari Medan ke Jakarta, lalu berganti ke Garuda Indonesia untuk melanjutkan perjalanan ke Jayapura," jelas Daniel. "Bayangkan, Lion Air mendarat di Terminal 1A, sementara Garuda Indonesia di Terminal 3. Bagaimana penumpang bisa berpindah dengan cepat dari Terminal 1A ke Terminal 3?"
Meskipun Bandara Soekarno-Hatta memiliki kereta api penghubung antar terminal (Kalyang), Daniel menilai sistem tersebut belum beroperasi secara optimal karena letaknya yang berada di luar terminal utama. "Di bandara manapun, kereta penghubung antar terminal biasanya berada di dalam terminal. Ini mungkin masukan untuk InJourney atau Angkasa Pura Indonesia. Konektivitas yang kurang efisien ini, terutama jika banyak penumpang yang menggunakannya, akan berkontribusi pada keterlambatan penerbangan," paparnya.
Permasalahan konektivitas antar terminal ini menjadi perhatian serius bagi industri penerbangan. Keterlambatan yang disebabkan oleh proses transit yang rumit dan tidak efisien berdampak langsung pada OTP maskapai dan pengalaman penumpang. Hal ini juga menimbulkan pertanyaan tentang kesiapan infrastruktur bandara di Indonesia dalam mendukung pertumbuhan industri penerbangan yang pesat.
Penurunan OTP penerbangan domestik ini bukan hanya masalah bagi maskapai, tetapi juga berdampak luas pada perekonomian dan mobilitas masyarakat. Keterlambatan penerbangan dapat menyebabkan kerugian finansial bagi pelaku bisnis, mengganggu jadwal perjalanan, dan mengurangi kepuasan penumpang. Oleh karena itu, diperlukan kolaborasi yang kuat antara pemerintah, maskapai, dan pengelola bandara untuk mencari solusi komprehensif guna meningkatkan OTP dan memperbaiki infrastruktur bandara.
Kemenhub perlu memperkuat pengawasan terhadap operasional maskapai dan memastikan kepatuhan terhadap standar keselamatan dan operasional. Selain itu, investasi dan pengembangan infrastruktur bandara, khususnya sistem konektivitas antar terminal, menjadi sangat krusial. Peningkatan efisiensi proses check-in, boarding, dan penanganan bagasi juga perlu menjadi fokus utama.
Maskapai penerbangan juga perlu meningkatkan manajemen operasional mereka, termasuk pengelolaan jadwal penerbangan dan respon terhadap kendala cuaca. Koordinasi yang lebih baik antara maskapai dan pengelola bandara dalam hal penanganan transit penumpang juga sangat penting. Transparansi informasi kepada penumpang terkait keterlambatan penerbangan juga perlu ditingkatkan untuk meminimalisir dampak negatif.
Permasalahan keterlambatan penerbangan domestik ini menuntut tindakan nyata dan terintegrasi dari seluruh pemangku kepentingan. Hanya dengan kolaborasi dan komitmen yang kuat, Indonesia dapat meningkatkan kinerja industri penerbangannya dan memberikan layanan yang lebih baik kepada masyarakat. Peningkatan OTP bukan hanya soal angka, tetapi juga soal kepercayaan publik terhadap industri penerbangan nasional dan kenyamanan penumpang. Ke depannya, monitoring dan evaluasi secara berkala terhadap kinerja OTP perlu dilakukan secara transparan dan melibatkan semua pihak terkait untuk memastikan solusi yang efektif dan berkelanjutan.