Kendala Ekonomi dan Teknis Hambat Proyek Hilirisasi Batu Bara Menjadi DME PT Bukit Asam

Jakarta, 5 Mei 2025 – Proyek ambisius hilirisasi batu bara menjadi Dimethyl Ether (DME) yang digagas PT Bukit Asam Tbk (PTBA) menghadapi kendala signifikan, baik dari sisi ekonomi maupun teknis. Direktur Utama PTBA, Arsal Ismail, mengungkapkan hal tersebut dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi VI DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. Ia secara gamblang memaparkan tantangan yang menghambat realisasi proyek strategis ini, yang bertujuan untuk mengurangi ketergantungan Indonesia pada impor Liquefied Petroleum Gas (LPG).

Kendala utama yang dihadapi, menurut Arsal, adalah nilai keekonomian proyek yang belum menguntungkan. Biaya produksi DME saat ini jauh lebih tinggi daripada harga jual yang ditetapkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Lebih lanjut, harga DME yang dihasilkan juga masih lebih mahal dibandingkan harga LPG impor yang selama ini menjadi andalan.

"Estimasi harga DME hasil produksi kami masih di atas harga patokan Kementerian ESDM, dan perhitungan internal kami menunjukkan harga yang lebih tinggi daripada harga LPG impor," tegas Arsal. Ia merinci perbandingan harga subsidi LPG dan DME. Subsidi LPG saat ini ditetapkan sebesar Rp 22.727 per tabung 3 kg (sekitar US$ 474 per ton), dengan total subsidi tahunan diperkirakan mencapai Rp 82 triliun untuk konsumsi 10,78 juta ton per tahun. Sementara itu, subsidi yang dibutuhkan untuk DME, jika dihitung dengan harga Rp 34.069 per tabung 3 kg (sekitar US$ 710 per ton), akan mencapai angka fantastis sebesar Rp 123 triliun per tahun dengan asumsi konsumsi yang sama. Selisih yang signifikan ini menjadi hambatan besar dalam mewujudkan proyek hilirisasi tersebut.

Selain kendala ekonomi, proyek ini juga menghadapi tantangan teknis yang kompleks. Arsal mengutip hasil rapat Satuan Tugas (Satgas) hilirisasi bersama PT Pertamina (Persero) Tbk pada 10 Maret 2025, yang mengidentifikasi kebutuhan infrastruktur konversi yang belum memadai sebagai salah satu faktor penghambat. Hal ini meliputi pembangunan jalur distribusi yang memadai dan penyediaan perangkat kompor rumah tangga yang kompatibel dengan DME.

"Jarak distribusi yang cukup jauh, sekitar 172 km, menjadi salah satu tantangan. Selain itu, kita juga perlu mempersiapkan jaringan niaga dan distribusi bahan bakar alternatif ini secara luas," jelas Arsal. Tantangan ini menunjukkan bahwa hilirisasi batu bara menjadi DME tidak hanya sebatas membangun pabrik, tetapi juga memerlukan investasi besar dalam infrastruktur pendukung yang mampu menjangkau konsumen secara efektif dan efisien.

Kendala Ekonomi dan Teknis Hambat Proyek Hilirisasi Batu Bara Menjadi DME PT Bukit Asam

Meskipun menghadapi kendala tersebut, PTBA menyatakan kesiapannya untuk menjalankan proyek hilirisasi. Arsal juga menyebutkan adanya minat dari beberapa investor asing terhadap proyek DME di Indonesia. Namun, ia menekankan pentingnya dukungan kebijakan pemerintah untuk mengatasi hambatan ekonomi dan teknis yang ada. Proyek ini, yang awalnya direncanakan memanfaatkan 6 juta ton batu bara per tahun, diharapkan mampu menghasilkan DME sebagai alternatif energi bersih dan kompetitif, yang dapat menggantikan LPG impor untuk kebutuhan rumah tangga dan industri.

Namun, perjalanan proyek ini tidaklah mulus. Arsal mengungkapkan bahwa Air Products, perusahaan yang sebelumnya ditunjuk sebagai mitra penyedia teknologi dan operator fasilitas produksi DME, telah mengundurkan diri pada Februari 2023. Hal ini menyebabkan perubahan skema hilirisasi yang semula direncanakan, di mana PTBA berperan sebagai pemasok batu bara, Pertamina sebagai pembeli (off-taker), dan Air Products sebagai pihak yang membangun dan mengoperasikan fasilitas produksi. Kegagalan kerjasama ini menjadi pukulan telak bagi proyek dan membutuhkan strategi baru untuk melanjutkan pengembangannya.

Kegagalan kerjasama dengan Air Products menyoroti pentingnya perencanaan yang matang dan mitigasi risiko yang komprehensif dalam proyek hilirisasi berskala besar. Tidak hanya aspek teknis dan ekonomi yang perlu dipertimbangkan, tetapi juga faktor-faktor politik, regulasi, dan ketersediaan teknologi yang tepat. Keberhasilan proyek ini bergantung pada sinergi yang kuat antara pemerintah, BUMN, dan investor swasta, serta komitmen untuk mengatasi hambatan yang ada.

Kesimpulannya, proyek hilirisasi batu bara menjadi DME oleh PTBA menghadapi tantangan yang kompleks dan membutuhkan solusi terintegrasi. Pemerintah memiliki peran krusial dalam memberikan dukungan kebijakan yang tepat, termasuk penyesuaian harga jual DME agar lebih kompetitif, serta penyediaan insentif dan kemudahan perizinan. Selain itu, perlu adanya investasi besar dalam infrastruktur pendukung untuk memastikan distribusi DME yang efisien dan efektif. Keberhasilan proyek ini tidak hanya berdampak pada ketahanan energi nasional, tetapi juga pada upaya diversifikasi ekonomi dan peningkatan nilai tambah dari sumber daya alam Indonesia. Ke depan, transparansi dan keterbukaan informasi mengenai perkembangan proyek ini sangat penting untuk membangun kepercayaan publik dan memastikan akuntabilitas penggunaan dana yang telah dialokasikan. Tantangan yang ada memerlukan strategi yang inovatif dan kolaboratif untuk mencapai tujuan mulia mengurangi ketergantungan Indonesia pada impor LPG.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *