Jakarta, 16 Mei 2025 – Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) resmi menaikkan tarif pungutan ekspor minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) menjadi 10%, efektif berlaku mulai 17 Mei 2025. Kenaikan ini, yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 30 Tahun 2025, merupakan langkah strategis untuk mendorong peningkatan produktivitas sektor perkebunan dan memberikan nilai tambah yang lebih signifikan bagi produk hilir, khususnya bagi para petani. Pungutan ekspor tersebut dikelola oleh Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP).
PMK ini mengamanatkan penyesuaian nilai pungutan dana perkebunan atas ekspor CPO dan produk turunannya. Pertimbangan kebijakan ini, sebagaimana tercantum dalam PMK, menekankan perlunya pengaturan tarif layanan yang diberikan oleh BPDP Kemenkeu untuk mencapai tujuan peningkatan produktivitas dan nilai tambah tersebut. Kenaikan tarif pungutan ini bukan semata-mata upaya penerimaan negara, melainkan bagian integral dari strategi pembangunan sektor perkebunan yang berkelanjutan.
Kenaikan tarif pungutan ekspor berdampak langsung pada beberapa komoditas utama, termasuk CPO itu sendiri, serta berbagai turunannya. Komoditas yang terkena dampak kenaikan pungutan ekspor antara lain: Minyak Sawit Mentah (Crude Palm Oil), termasuk Minyak Sawit Rendah Asam Lemak Bebas (Low Free Fatty Acid Crude Palm Oil), Minyak Daging Buah Kelapa Sawit (Palm Mesocarp Oil), Minyak Sawit Merah (Red Palm Oil), dan Degummed Palm (Mesocarp Oil). Tidak hanya itu, pungutan ekspor sebesar 10% juga diberlakukan pada Minyak Inti Sawit (Crude Palm Kernel Oil), Palm Oil Mill Effluent Oil, Minyak Tandan Kosong Kelapa Sawit (Empty Fruit Bunch Oil), dan High Acid Palm Oil Residue.
Besaran pungutan ekspor yang mencapai 10% ini dihitung berdasarkan harga referensi CPO yang ditetapkan oleh kementerian yang membidangi urusan perdagangan. Hal ini memastikan transparansi dan keadilan dalam penerapan pungutan, menghindari potensi manipulasi harga dan memastikan pungutan yang dikenakan proporsional terhadap nilai ekspor komoditas.
Mekanisme pembayaran pungutan ekspor juga diatur secara rinci dalam PMK. Pasal 7 ayat (2) menegaskan bahwa pungutan tersebut dibayarkan oleh pelaku usaha dan eksportir dalam mata uang Rupiah, menggunakan nilai kurs yang berlaku pada saat pembayaran. Lebih lanjut, Pasal 7 ayat (3) menjelaskan bahwa nilai kurs tersebut mengacu pada nilai kurs yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan mengenai nilai kurs sebagai dasar pelunasan berbagai kewajiban fiskal, termasuk bea masuk, pajak pertambahan nilai barang dan jasa, pajak penjualan atas barang mewah, bea keluar, dan pajak penghasilan. Ketentuan ini memastikan kepastian hukum dan menghindari potensi kerugian akibat fluktuasi kurs mata uang asing.
Kenaikan pungutan ekspor CPO ini telah memicu beragam reaksi dari berbagai pihak. Para pelaku usaha di sektor perkebunan kelapa sawit, khususnya eksportir, diharapkan dapat menyesuaikan strategi bisnis mereka untuk menghadapi perubahan ini. Di sisi lain, pemerintah perlu memastikan bahwa peningkatan pungutan ini tidak membebani daya saing produk CPO Indonesia di pasar internasional. Pemerintah juga perlu memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana yang diperoleh dari pungutan ekspor ini, agar manfaatnya benar-benar dapat dirasakan oleh petani dan sektor perkebunan secara keseluruhan.
Langkah pemerintah menaikkan pungutan ekspor CPO ini perlu dilihat dalam konteks yang lebih luas, yaitu sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk meningkatkan daya saing dan nilai tambah produk perkebunan Indonesia. Dengan meningkatkan pungutan ekspor, pemerintah berharap dapat mengalokasikan dana yang lebih besar untuk pengembangan infrastruktur, riset dan teknologi, serta peningkatan kapasitas petani. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi sektor perkebunan, sehingga Indonesia dapat mempertahankan posisinya sebagai produsen CPO terbesar dunia sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani.
Namun, implementasi kebijakan ini membutuhkan pengawasan yang ketat untuk memastikan bahwa dana yang terkumpul digunakan secara efektif dan efisien. Transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana pungutan ekspor menjadi kunci keberhasilan kebijakan ini. Pemerintah perlu melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk asosiasi petani, pelaku usaha, dan akademisi, dalam proses pengawasan dan evaluasi untuk memastikan bahwa kebijakan ini mencapai tujuan yang diharapkan.
Ke depan, perlu dilakukan evaluasi berkala terhadap dampak kebijakan ini terhadap perekonomian nasional dan kesejahteraan petani. Jika diperlukan, penyesuaian kebijakan dapat dilakukan untuk memastikan bahwa kebijakan ini tetap relevan dan efektif dalam mencapai tujuan peningkatan produktivitas dan nilai tambah produk perkebunan kelapa sawit Indonesia. Keberhasilan kebijakan ini tidak hanya bergantung pada kenaikan tarif pungutan, tetapi juga pada bagaimana pemerintah mampu mengelola dan memanfaatkan dana tersebut secara optimal untuk mendukung pengembangan sektor perkebunan secara berkelanjutan. Oleh karena itu, transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi berbagai pihak menjadi kunci keberhasilan kebijakan ini.