Jakarta, 27 Maret 2025 – Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) berencana memanggil sejumlah aplikator penyedia layanan angkutan online untuk meminta klarifikasi terkait polemik besaran Tunjangan Hari Raya (THR) atau yang lebih dikenal dengan Bonus Hari Raya (BHR) bagi para pengemudi ojek online (ojol) yang dilaporkan hanya sebesar Rp 50.000. Langkah ini diambil sebagai bagian dari upaya Kemnaker untuk mendapatkan gambaran utuh dan seimbang terkait permasalahan yang tengah menjadi sorotan publik tersebut.
Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer, yang akrab disapa Noel, menyatakan bahwa pemanggilan tersebut bertujuan untuk memperoleh penjelasan langsung dari pihak aplikator. "Untuk mendapatkan informasi yang lengkap dan berimbang, kita akan melakukan pengecekan kepada para aplikator atau platform digital. Kita akan meminta klarifikasi dari platform digital ini mengenai penyebab terjadinya hal ini," ujar Noel melalui akun Instagram resmi Kemnaker (@kemnaker).
Noel menekankan pentingnya mendapatkan perspektif dari kedua belah pihak, yaitu para driver ojol dan perusahaan aplikator. "Kita butuh penyeimbangan opini. Mereka (aplikator) punya hak untuk mengklarifikasi," tambahnya. Pernyataan ini menunjukkan komitmen Kemnaker untuk menjalankan proses investigasi yang adil dan objektif, dengan mempertimbangkan keterangan dari semua pihak yang terkait.
Salah satu poin penting yang akan dikonfirmasi Kemnaker kepada para aplikator adalah mengenai sistem kategorisasi yang mereka terapkan dalam menentukan besaran BHR yang diterima oleh para driver. Noel menjelaskan, "Nanti kita juga mau tahu soal kategorisasi itu. Kategorisasi ini seperti apa? Kita butuh klarifikasi dari pelaku digitalnya." Dugaan adanya perbedaan kategori driver dan implikasinya terhadap besaran THR menjadi fokus utama dalam penyelidikan ini. Kemungkinan adanya disparitas perlakuan dan transparansi sistem penggajian akan menjadi sorotan utama dalam proses klarifikasi tersebut.
Kemnaker telah menerima sejumlah aduan dari para driver ojol yang mengaku hanya menerima BHR sebesar Rp 50.000. Aduan ini memicu reaksi publik dan menimbulkan pertanyaan mengenai kepatuhan perusahaan aplikator terhadap peraturan ketenagakerjaan yang berlaku terkait pemberian THR. Noel menegaskan bahwa Kemnaker menganggap serius aduan tersebut. "Apa yang mereka sampaikan, kawan-kawan driver ini (mendapat BHR Rp 50.000), kan fakta dan data. Mereka (driver) punya aplikasinya, mereka punya datanya, mereka tahu jam kerjanya, mereka tahu hasilnya," tegas Noel. Pernyataan ini menggarisbawahi pentingnya bukti dan data yang dimiliki oleh para driver sebagai dasar investigasi Kemnaker.
Proses klarifikasi yang akan dilakukan oleh Kemnaker diharapkan dapat mengungkap mekanisme penentuan BHR yang diterapkan oleh masing-masing aplikator. Hal ini termasuk rincian perhitungan, kriteria yang digunakan, dan transparansi informasi kepada para driver. Kemungkinan adanya perbedaan penerapan sistem di antara berbagai aplikator juga akan menjadi fokus penyelidikan. Dengan demikian, Kemnaker dapat menganalisis apakah terdapat pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pemanggilan aplikator ini merupakan langkah strategis Kemnaker dalam merespon keresahan publik dan memastikan perlindungan hak-hak pekerja di sektor ekonomi digital. Proses ini diharapkan dapat menghasilkan kesimpulan yang objektif dan rekomendasi yang tepat guna menyelesaikan permasalahan yang dihadapi para driver ojol. Hasil investigasi ini nantinya akan menjadi dasar bagi Kemnaker untuk mengambil langkah-langkah selanjutnya, baik berupa mediasi, penegakan hukum, atau rekomendasi kebijakan yang lebih komprehensif.
Kemnaker memiliki kewenangan untuk menindak tegas perusahaan yang terbukti melanggar peraturan ketenagakerjaan, termasuk terkait pemberian THR. Sanksi yang dapat dikenakan bervariasi, mulai dari teguran tertulis hingga sanksi administratif dan bahkan proses hukum pidana. Besaran denda yang dapat dijatuhkan juga cukup signifikan, tergantung pada tingkat pelanggaran yang ditemukan.
Kasus ini menyoroti pentingnya perlindungan pekerja di era ekonomi digital yang semakin berkembang pesat. Para pekerja platform digital, seperti driver ojol, seringkali berada dalam posisi yang rentan dan memerlukan perlindungan hukum yang memadai. Peran Kemnaker dalam mengawasi dan memastikan kepatuhan perusahaan terhadap peraturan ketenagakerjaan menjadi sangat krusial dalam melindungi hak-hak pekerja di sektor ini. Kasus THR Rp 50.000 ini diharapkan menjadi momentum bagi Kemnaker untuk memperkuat pengawasan dan perlindungan terhadap pekerja platform digital, serta mendorong terciptanya hubungan industrial yang lebih adil dan seimbang. Langkah-langkah preventif dan edukatif juga perlu ditingkatkan untuk mencegah kejadian serupa di masa mendatang. Transparansi dan akuntabilitas dari pihak aplikator menjadi kunci utama dalam menciptakan lingkungan kerja yang lebih baik bagi para driver ojol.