Kebijakan Proteksionis Trump: Upaya Menutupi Defisit Pendapatan, Bukan Revitalisasi Manufaktur

Jakarta, 13 April 2025 – Wakil Menteri Luar Negeri (Wamenlu) Arrmanatha Christiawan Nasir membongkar motif di balik kebijakan proteksionis Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang menerapkan tarif impor tinggi terhadap sejumlah negara. Menurut Arrmanatha, dalih revitalisasi manufaktur dan pengurangan defisit perdagangan yang kerap dikemukakan merupakan kamuflase dari upaya menutupi defisit pendapatan negara akibat pemangkasan pajak penghasilan.

Dalam paparannya di acara The Yudhoyono Institute di Hotel Grand Sahid, Jakarta Pusat, Minggu (13/4/2025), Wamenlu mengungkap temuannya berdasarkan manifesto strategi perdagangan AS 2025 yang disusun oleh para penasihat ekonomi Gedung Putih, termasuk Peter Navarro. Dokumen tersebut, menurut Arrmanatha, menunjukkan bahwa kebijakan tarif tinggi merupakan strategi untuk mengganti pendapatan negara yang hilang akibat penurunan income tax.

"Kebijakan pemangkasan pajak penghasilan di awal pemerintahan Trump berdampak signifikan terhadap pendapatan negara," ujar Arrmanatha. "Untuk menutupi defisit ini, salah satu strategi yang diadopsi adalah penerapan import duties atau bea masuk impor yang tinggi."

Penerapan tarif impor di atas 10% terhadap puluhan negara telah menghasilkan tambahan pendapatan bagi AS yang signifikan. Arrmanatha memperkirakan, kebijakan ini telah menyuntikkan dana sebesar US$ 330 miliar atau setara dengan Rp 5,54 kuadriliun (dengan kurs Rp 16.800) ke kas negara.

"Jika kita asumsikan tarif 10% diterapkan secara merata ke semua negara, maka pendapatan tambahan tersebut mencapai US$ 330 miliar per tahun," tegasnya. "Klaim bahwa kebijakan tarif tinggi Trump bertujuan melindungi dan membangkitkan sektor manufaktur AS patut dipertanyakan. Analisis menunjukkan bahwa tujuan utamanya adalah menutupi defisit pendapatan akibat penurunan income tax, sesuai dengan agenda gerakan konservatif di AS."

Kebijakan Proteksionis Trump: Upaya Menutupi Defisit Pendapatan, Bukan Revitalisasi Manufaktur

Kebijakan proteksionis Trump ini, lanjut Arrmanatha, telah memicu reaksi dari berbagai negara yang terkena dampak. Puluhan negara telah melakukan negosiasi dengan AS untuk mengurangi tarif impor yang memberatkan. Namun, menurut Wamenlu, negosiasi tersebut justru menguntungkan AS.

"Semua negara yang bernegosiasi memberikan berbagai insentif kepada AS. Insentif-insentif tersebut, seperti penawaran pembelian produk AS, merupakan bonus bagi perdagangan AS," jelas Arrmanatha. "Alih-alih bernegosiasi secara bilateral, negara-negara yang dirugikan seharusnya bersama-sama membawa AS ke meja perundingan WTO (World Trade Organization) untuk menyelesaikan permasalahan ini melalui jalur multilateral. Hal ini sesuai dengan komitmen kita terhadap sistem perdagangan multilateral."

Arrmanatha menekankan bahwa kebijakan tarif tinggi Trump telah melanggar aturan WTO yang menganjurkan perdagangan bebas dan adil. Dengan menerapkan tarif yang tinggi secara sepihak, AS telah menciptakan ketidakseimbangan dalam perdagangan global dan merugikan negara-negara lain.

Lebih lanjut, Wamenlu menyoroti ironi dalam strategi Trump. Dengan dalih melindungi industri dalam negeri, kebijakan ini justru menciptakan situasi di mana negara-negara lain dipaksa memberikan insentif kepada AS, sehingga memperkuat posisi AS di pasar global. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan tersebut lebih berorientasi pada pengumpulan pendapatan daripada revitalisasi sektor manufaktur.

Kesimpulannya, kebijakan tarif impor tinggi yang diterapkan oleh pemerintahan Trump bukanlah semata-mata upaya untuk melindungi industri manufaktur atau mengurangi defisit perdagangan, melainkan strategi untuk menutupi defisit pendapatan negara yang diakibatkan oleh pemangkasan pajak penghasilan. Hal ini menunjukkan adanya celah dalam transparansi dan akuntabilitas kebijakan ekonomi AS, serta menunjukkan perlunya mekanisme pengawasan yang lebih ketat terhadap praktik proteksionisme yang merugikan negara-negara lain. Ke depan, kerjasama multilateral melalui WTO menjadi penting untuk menegakkan aturan perdagangan internasional dan mencegah praktik-praktik proteksionis yang merusak sistem perdagangan global. Negara-negara yang terkena dampak perlu bersatu untuk memperjuangkan kepentingan bersama dan memastikan terciptanya perdagangan yang adil dan berkelanjutan. Keengganan AS untuk tunduk pada aturan WTO menunjukkan perlunya reformasi dan penguatan lembaga internasional tersebut agar lebih efektif dalam mengatasi praktik-praktik perdagangan yang tidak adil.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *