Kebijakan Pemprov Bali Larang Air Botol Kecil Picu Kontroversi: Apindo Bali Desak Kajian Ulang

Denpasar, 20 April 2025 – Surat Edaran (SE) Gubernur Bali Nomor 9 Tahun 2025 tentang Gerakan Bali Bersih Sampah, yang bertujuan mulia untuk mengatasi permasalahan sampah di Pulau Dewata, justru menuai kritik tajam dari berbagai kalangan, terutama terkait pelarangan produksi dan distribusi air minum kemasan di bawah satu liter. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bali, misalnya, menilai kebijakan ini kontraproduktif dan berpotensi merugikan industri, khususnya Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), serta masyarakat luas.

Ketua Apindo Bali, I Nengah Nurlaba, dalam keterangan persnya Minggu (20/4), menyoroti dampak negatif SE tersebut terhadap keberlangsungan usaha industri air kemasan di Bali, baik skala besar maupun kecil. “Tujuan dan maksud pelarangan sampah memang baik, tetapi pelarangan produksi air minum di bawah satu liter dinilai terlalu interventif dan masuk ke ranah makanan dan minuman,” tegas Nurlaba. Ia menekankan bahwa kebijakan ini perlu dikaji ulang agar tidak menimbulkan kerugian ekonomi yang signifikan bagi pelaku usaha dan masyarakat.

Nurlaba mendesak pemerintah Provinsi Bali untuk mempertimbangkan kembali kebijakan tersebut dengan bijak. “Harus dipertimbangkan lagi agar UMKM dan pedagang kecil tidak terdampak negatif,” imbuhnya. Kekhawatiran ini didasari pada potensi kerugian ekonomi yang signifikan bagi industri air minum kemasan yang selama ini menjadi salah satu sektor penting di Bali. Penutupan usaha dan pemutusan hubungan kerja (PHK) menjadi ancaman nyata jika kebijakan ini tetap diberlakukan tanpa revisi yang signifikan.

SE tersebut diluncurkan bersamaan dengan kampanye Gerakan Bali Bersih Sampah pada Jumat (11/4) lalu. Gubernur Bali, Wayan Koster, saat itu memaparkan data volume sampah di Bali mencapai 3.436 ton per hari, dengan 60 persen merupakan sampah organik. Rinciannya, sampah rumah tangga lebih dari 6 persen, sampah pasar lebih dari 7 persen, sampah dari aktivitas perdagangan lebih dari 11 persen, dan sampah plastik mencapai 17 persen. Sistem pengelolaan sampah saat ini masih jauh dari optimal, dengan 23 persen sampah dibuang sembarangan, menjadi permasalahan utama yang perlu ditangani.

Koster mengakui bahwa sampah plastik telah mencemari pantai-pantai di Bali, dan sebagian berasal dari luar Bali, seperti Jawa Timur, Kalimantan, dan Sulawesi. Ia meminta pemerintah pusat untuk turut serta mengatasi masalah ini melalui kerjasama antar daerah. Meskipun upaya pembersihan pantai telah dilakukan, Koster menekankan perlunya pengendalian diri masyarakat dalam membuang sampah.

Kebijakan Pemprov Bali Larang Air Botol Kecil Picu Kontroversi: Apindo Bali Desak Kajian Ulang

Namun, fokus pada pelarangan air minum kemasan di bawah satu liter dalam SE tersebut menjadi titik krusial yang memicu kontroversi. Berbagai kalangan menilai kebijakan ini kurang tepat sasaran dan berpotensi merugikan masyarakat luas, sektor pariwisata, dan perekonomian daerah.

Data dari Sungai Watch menunjukkan bahwa kontribusi limbah air minum kemasan botol PET terhadap sampah di Bali dan Banyuwangi hanya 4,4 persen. Jenis sampah lain yang lebih dominan antara lain kemasan sachet (5,5 persen), kantong plastik (15,2 persen), dan plastik bening (16,2 persen). Kecuali kemasan sachet, jenis sampah plastik lainnya masih memiliki nilai ekonomis dan dapat didaur ulang.

Ketua Ikatan Pemulung Indonesia (IPI), Pris Polly Lengkong, sepakat bahwa SE tersebut bukanlah solusi tepat. Ia berpendapat bahwa air kemasan plastik merupakan salah satu komoditas limbah plastik yang paling banyak dikumpulkan oleh pemulung. “Bukannya membatasi, seharusnya pemerintah berinvestasi dalam pembangunan industri daur ulang, karena itu yang kurang di Bali,” ujar Polly.

IPI sendiri mampu mengelola lebih dari 80 persen sampah plastik di Bali. Polly menekankan bahwa Pemprov Bali sebenarnya mampu mengatasi masalah sampah dengan membangun industri daur ulang yang memadai. Industri daur ulang dapat mengolah limbah plastik menjadi barang-barang baru atau kembali menjadi botol minuman. Saat ini, hasil olahan limbah plastik dari Bali masih banyak diekspor ke Jawa, menunjukkan kurang optimalnya pengelolaan limbah di daerah tersebut.

Senada dengan Apindo dan IPI, Anggota DPD RI asal Bali, Niluh Djelantik, juga mengkritik kebijakan tersebut. Ia menilai pemerintah tidak seharusnya mengeluarkan aturan yang mengganggu pendapatan UMKM, pariwisata, kegiatan adat, dan upacara keagamaan. Djelantik mendesak pemerintah untuk mengkaji ulang SE tersebut, termasuk pelarangan produksi dan peredaran air kemasan di bawah satu liter. “Tidak semua orang kuat membawa air botolan 1,5 liter. Mungkin lebih bijak menetapkan ukuran minimal air kemasan botol 650 ml dan memberikan aturan tegas tentang pengelolaan botolnya,” saran Djelantik.

Kesimpulannya, kebijakan pelarangan air minum kemasan di bawah satu liter dalam SE Gubernur Bali Nomor 9 Tahun 2025 menuai kontroversi dan mendapat penolakan dari berbagai pihak. Kebijakan ini dinilai kurang tepat sasaran, berpotensi merugikan ekonomi, dan tidak menyelesaikan akar permasalahan sampah di Bali. Desakan untuk kajian ulang dan fokus pada pembangunan industri daur ulang sebagai solusi yang lebih berkelanjutan semakin menguat. Perdebatan ini menyoroti pentingnya perencanaan kebijakan yang komprehensif dan berpihak pada masyarakat serta memperhatikan dampak ekonomi sebelum diberlakukan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *