Jawa Barat: Ketimpangan Fiskal Mencolok di Tengah Kekuatan Ekonomi Regional

Jakarta, 20 Mei 2025 – Provinsi Jawa Barat, salah satu penopang ekonomi terbesar di Indonesia, menunjukkan disparitas fiskal yang signifikan. Meskipun secara keseluruhan provinsi ini memiliki kapasitas fiskal yang kuat, sejumlah kabupaten/kota justru masih sangat bergantung pada transfer dana dari pemerintah pusat, mengungkap tantangan mendalam dalam pemerataan pembangunan ekonomi regional. Hal ini diungkapkan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian dalam acara detikcom Regional Summit 2025, Kawasan REBANA, Senin (19/5/2025).

Mendagri Tito menjelaskan bahwa pengukuran kapasitas fiskal daerah didasarkan pada perbandingan antara Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan pendapatan transfer dari pemerintah pusat, meliputi Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Khusus (DAK), serta hibah. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri, Jawa Barat secara keseluruhan menunjukkan kinerja fiskal yang positif. Provinsi ini membukukan PAD sebesar 62,28%, melampaui pendapatan transfer pusat yang hanya mencapai 37,64%. Angka ini menunjukkan potensi ekonomi Jawa Barat yang signifikan dan kemampuannya dalam mengelola sumber daya lokal.

Namun, gambaran tersebut tidak mencerminkan kondisi seluruh kabupaten/kota di Jawa Barat. Mendagri Tito mengklasifikasikan kapasitas fiskal daerah ke dalam tiga kategori: kuat, sedang, dan lemah. Kabupaten/kota dengan kapasitas fiskal kuat ditandai dengan PAD yang lebih tinggi daripada pendapatan transfer pusat. Kategori sedang menunjukkan keseimbangan antara PAD dan transfer pusat, sementara kategori lemah menunjukkan ketergantungan yang tinggi terhadap transfer pusat.

Berdasarkan data yang dipaparkan, lima kabupaten/kota di Jawa Barat tergolong memiliki kapasitas fiskal yang kuat: Kota Bekasi, Kota Bogor, Kota Bandung, Kabupaten Bekasi, dan Kota Depok. Kelima daerah ini menunjukkan kemampuan yang baik dalam mengelola sumber daya lokal dan menghasilkan pendapatan sendiri. Keberhasilan ini kemungkinan besar dipengaruhi oleh aktivitas ekonomi yang dinamis dan basis pajak yang kuat di daerah-daerah tersebut.

Sebaliknya, kondisi yang memprihatinkan terungkap pada sejumlah kabupaten/kota lainnya. Dua daerah masuk dalam kategori kapasitas fiskal sedang: Kabupaten Bogor (PAD 47,42%, transfer pusat 52,48%) dan Kota Cirebon (PAD 44,45%, transfer pusat 55,55%). Meskipun masih bergantung pada transfer pusat, proporsi PAD yang relatif tinggi menunjukkan potensi untuk peningkatan kapasitas fiskal di masa mendatang.

Jawa Barat: Ketimpangan Fiskal Mencolok di Tengah Kekuatan Ekonomi Regional

Namun, kondisi yang paling mengkhawatirkan terdapat pada 20 kabupaten/kota lainnya yang dikategorikan memiliki kapasitas fiskal lemah. Ketergantungan mereka pada transfer pusat sangat tinggi, menunjukkan lemahnya perekonomian lokal dan rendahnya kemampuan dalam menghasilkan PAD. Mendagri Tito mencontohkan beberapa daerah dengan ketergantungan yang ekstrem: Sumedang (76,13% dari pusat, 23% dari PAD), Kabupaten Cirebon (76% dari pusat, 24% dari PAD), Indramayu (78% dari pusat, 21% dari PAD), dan Kabupaten Kuningan (82% dari pusat, 15% dari PAD).

Kondisi ini, menurut Mendagri Tito, mencerminkan iklim usaha yang belum sepenuhnya kondusif di daerah-daerah tersebut. Rendahnya PAD mengindikasikan lemahnya aktivitas ekonomi, yang berdampak pada rendahnya penerimaan pajak dan retribusi daerah. “Semakin banyak PAD-nya maka dunia usaha hidup, karena kalau dunia usahanya hidup, maka otomatis pajak dan retribusi akan meningkat. Tapi kalau PAD rendah itu menggambarkan dunia usahanya belum hidup, karena tidak bisa ditarik pajak dan retribusi,” tegas Mendagri Tito.

Mendagri Tito menekankan perlunya upaya serius dari pemerintah daerah untuk membangkitkan iklim usaha di daerah-daerah tersebut. Ia secara khusus menyoroti Kabupaten Kuningan, Sumedang, Kabupaten Cirebon, Majalengka, dan Subang yang perlu meningkatkan upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lokal dan mengurangi ketergantungan pada transfer dana pusat. “Dari sini kita bisa melihat bahwa Kota Cirebon ini iklim usahanya lumayan bagus, baru diikuti oleh Subang, Sumedang, Kabupaten Cirebon, Majalengka, Kabupaten Kuningan ini Pak Bupati harus bekerja keras betul untuk membangkitkan dunia usaha, supaya tangannya tidak menengadah terus ke Kementerian Keuangan,” imbuhnya.

Kesimpulannya, Jawa Barat menghadapi tantangan yang kompleks dalam mewujudkan pemerataan pembangunan ekonomi. Meskipun provinsi ini secara keseluruhan menunjukkan kekuatan fiskal yang baik, ketimpangan yang signifikan antara kabupaten/kota yang kaya dan miskin secara fiskal memerlukan perhatian serius. Pemerintah daerah, khususnya di kabupaten/kota dengan kapasitas fiskal lemah, perlu fokus pada strategi pengembangan ekonomi lokal, peningkatan iklim investasi, dan diversifikasi sumber pendapatan daerah untuk mengurangi ketergantungan pada transfer dana pusat dan membangun kemandirian fiskal. Hal ini penting untuk memastikan pemerataan pembangunan dan kesejahteraan di seluruh wilayah Jawa Barat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *