Industri Rokok Terguncang: PP Kesehatan Picu Polemik dan Ancaman terhadap Ekosistem Pertembakauan Nasional

Jakarta, 30 Mei 2025 – Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan, yang diharapkan menjadi landasan penguatan sistem kesehatan nasional, justru memicu kontroversi dan kekhawatiran luas, khususnya bagi industri tembakau. Aturan yang membatasi konsumsi Gula-Garam-Lemak (GGL) dan memberlakukan pembatasan penjualan dan periklanan rokok di sekitar satuan pendidikan dan tempat bermain anak dinilai mengancam keberlangsungan ekosistem industri yang melibatkan jutaan pekerja, mulai dari petani tembakau hingga pedagang eceran.

Pasal-pasal kontroversial dalam PP 28/2024, khususnya yang mengatur jarak penjualan rokok hingga 200 meter dan larangan iklan rokok luar ruang dalam radius 500 meter dari fasilitas pendidikan dan area bermain anak, telah memicu gelombang protes. Para pelaku usaha di industri tembakau menilai kebijakan ini sebagai tindakan yang tidak adil dan berpotensi menghancurkan mata pencaharian mereka. Kekhawatiran akan dampak ekonomi yang signifikan, termasuk potensi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal, semakin memperkeruh suasana.

Minimnya koordinasi antar kementerian menjadi sorotan utama. Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Prof. Hikmahanto Juwana, menegaskan pentingnya sinergi antar lembaga pemerintah dalam penyusunan kebijakan lintas sektor. "PP 28/2024 seharusnya mampu meredam ego sektoral antar kementerian dan menghasilkan aturan yang lebih adil bagi pelaku usaha, perkebunan sebagai industri strategis, perusahaan rokok, dan juga konsumen," tegasnya dalam keterangan pers, Jumat (30/5/2025). Ia menekankan perlunya keterlibatan semua pemangku kepentingan dalam proses pembuatan kebijakan untuk menghindari tumpang tindih dan kebijakan yang kontraproduktif. Prof. Juwana secara khusus menyoroti peran Kementerian Koordinator dalam memastikan terakomodasinya kepentingan semua kementerian terkait.

Kekhawatiran semakin meningkat dengan rencana penerapan kemasan rokok polos (plain packaging) yang tertuang dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) sebagai aturan turunan dari PP 28/2024. Kebijakan ini, yang dinilai terinspirasi oleh Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) – sebuah konvensi yang belum diratifikasi Indonesia – dianggap berpotensi merusak ekosistem pertembakauan nasional secara signifikan. Para kritikus memprediksi dampak negatif yang meluas, mulai dari peningkatan peredaran rokok ilegal hingga PHK besar-besaran di sektor hilir industri rokok. Penggunaan prinsip FCTC tanpa ratifikasi resmi juga menimbulkan pertanyaan tentang potensi intervensi asing dalam kebijakan domestik Indonesia.

Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej, turut menyuarakan keprihatinannya. Ia menyoroti potensi cacat prosedural dalam penyusunan PP 28/2024, mengatakan, "Jika terbukti PP (28/2024) dibuat tanpa partisipasi publik, maka secara prosedural cacat dan dapat dibatalkan. Ini belum bicara substansi," ujarnya. Wamenkumham mendorong pihak-pihak yang merasa dirugikan untuk menempuh jalur hukum melalui uji materiil dan formil (Judicial Review) ke Mahkamah Agung (MA). Jika terbukti bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, PP 28/2024 dapat dibatalkan.

Industri Rokok Terguncang: PP Kesehatan Picu Polemik dan Ancaman terhadap Ekosistem Pertembakauan Nasional

Polemik seputar PP 28/2024 menunjukkan kompleksitas tantangan dalam menyeimbangkan kepentingan kesehatan masyarakat dengan dampak ekonomi dan sosial yang luas. Kritik yang muncul bukan hanya menyoroti substansi aturan, tetapi juga proses pembuatannya yang dinilai kurang transparan dan partisipatif. Ketiadaan koordinasi antar kementerian dan potensi intervensi asing semakin memperumit situasi.

Dampak jangka panjang dari PP 28/2024 terhadap industri rokok dan perekonomian nasional masih belum dapat diprediksi secara pasti. Namun, potensi kerugian ekonomi, peningkatan pengangguran, dan meluasnya peredaran rokok ilegal merupakan ancaman nyata yang perlu diantisipasi. Perdebatan hukum yang sedang berlangsung di Mahkamah Agung akan menjadi penentu nasib PP 28/2024 dan menentukan arah kebijakan pemerintah terkait industri tembakau ke depannya. Kejelasan dan transparansi dalam proses pengambilan keputusan menjadi kunci untuk menghindari dampak negatif yang lebih luas dan menciptakan solusi yang adil bagi semua pihak yang terkait.

Perlu diingat bahwa industri tembakau merupakan sektor yang memiliki kontribusi signifikan terhadap perekonomian Indonesia, baik dari sisi pendapatan negara melalui cukai maupun penyerapan tenaga kerja. Oleh karena itu, kebijakan yang diambil harus mempertimbangkan secara komprehensif berbagai aspek, termasuk dampak sosial dan ekonomi, selain fokus pada aspek kesehatan. Pemerintah perlu menunjukkan komitmennya untuk menciptakan kebijakan yang berimbang, yang tidak hanya mengedepankan kesehatan masyarakat tetapi juga memperhatikan kesejahteraan dan keberlangsungan hidup jutaan orang yang bergantung pada industri tembakau. Proses dialog dan negosiasi yang inklusif dengan seluruh pemangku kepentingan menjadi sangat krusial untuk menemukan solusi yang berkelanjutan dan diterima oleh semua pihak. Kegagalan dalam hal ini berpotensi menimbulkan konflik sosial dan ekonomi yang lebih besar di masa mendatang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *