Jakarta, 4 April 2025 – Pemerintah Indonesia tengah berupaya meminimalisir dampak negatif kebijakan tarif impor yang diterapkan Amerika Serikat (AS) di masa pemerintahan Donald Trump. Langkah strategis yang ditempuh adalah memperkuat kerja sama bilateral di berbagai sektor, mengarahkan fokus pada investasi, perdagangan komoditas strategis, dan rantai pasok mineral kritis. Upaya ini diwujudkan melalui serangkaian komunikasi diplomatik tingkat tinggi, salah satunya melalui konferensi video antara Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dengan Anggota Kongres AS dari Partai Republik, Carol Miller, pada Selasa (1/4).
Pertemuan virtual tersebut bukan sekadar silaturahmi diplomatik biasa. Indonesia, dengan perannya yang strategis di kawasan Indo-Pasifik serta keikutsertaan aktif dalam forum multilateral seperti ASEAN, G20, dan APEC, melihat peluang untuk memperkuat posisi tawar-menawar dalam hubungan ekonomi dengan AS. Hal ini krusial mengingat penerapan tarif impor AS yang mencapai 32% terhadap sejumlah produk Indonesia, sebuah kebijakan balasan atas tarif yang sebelumnya dijatuhkan Indonesia.
"Indonesia sangat mengapresiasi hubungan bilateral yang baik dengan Amerika Serikat," tegas Airlangga dalam keterangan resminya, Jumat (4/4). "Untuk mendukung ketahanan pangan domestik, kami berharap kerja sama perdagangan pada komoditas pangan esensial seperti kacang kedelai dan gandum dapat diteruskan." Pernyataan ini menunjukkan upaya Indonesia untuk menjaga stabilitas pasokan pangan, sekaligus mempertahankan jalur komunikasi yang kondusif dengan AS.
Namun, fokus kerja sama tidak hanya terbatas pada sektor pangan. Airlangga juga menekankan potensi kerja sama di bidang ekonomi hijau, khususnya Carbon Capture and Storage (CCS) dan mineral kritis. "Kerja sama strategis dengan Amerika Serikat pada kedua sektor ini dapat secara signifikan mendorong posisi Indonesia pada sektor ekonomi bersih dan rantai pasok mineral kritis global," tambahnya. Langkah ini menunjukkan strategi Indonesia untuk menawarkan nilai tambah di luar komoditas tradisional, sekaligus menyesuaikan diri dengan tren global menuju ekonomi berkelanjutan.
Dari pihak AS, Congresswoman Miller menyampaikan komitmen untuk melanjutkan prioritas hubungan bilateral yang telah ditetapkan di masa pemerintahan Trump, yakni kerja sama, stabilitas kawasan, dan keamanan. "Good trading partners makes good friends," ujarnya, menunjukkan harapan untuk menjaga hubungan dagang yang saling menguntungkan. Pernyataan ini, meskipun disampaikan dalam konteks yang lebih umum, menunjukkan sebuah sinyal positif bagi Indonesia untuk terus membangun dialog dan mencari solusi atas permasalahan tarif.
Konteks penerapan tarif impor 32% oleh AS terhadap Indonesia perlu dipahami lebih dalam. Berdasarkan laporan resmi Gedung Putih, langkah tersebut merupakan respons atas tarif impor yang dikenakan Indonesia terhadap produk etanol AS, yang mencapai 30%, dianggap lebih tinggi dibandingkan tarif yang diterapkan AS untuk produk serupa ke Indonesia (2,5%). Kebijakan ini, bukan hanya berdampak pada Indonesia, tetapi juga sejumlah negara lain. The New York Times melaporkan setidaknya 100 mitra dagang AS terkena dampak tarif baru, dengan besaran yang bervariasi. China misalnya dikenai tarif 34%, Vietnam 46%, Kamboja 49%, Taiwan 32%, India 26%, dan Korea Selatan 25%.
Penerapan tarif ini secara umum ditujukan kepada negara-negara dengan surplus perdagangan yang signifikan terhadap AS, sehingga menciptakan defisit neraca perdagangan bagi Negeri Paman Sam. Kondisi ini memaksa AS untuk mengambil langkah proteksionis guna mengurangi defisit tersebut. Indonesia, sebagai salah satu negara yang terkena dampak, terpaksa mencari strategi untuk menavigasi situasi yang kompleks ini.
Strategi Indonesia tidak hanya berfokus pada negosiasi langsung terkait tarif, tetapi juga memperluas kerja sama di sektor-sektor lain yang lebih strategis. Dengan menawarkan kerja sama di bidang ekonomi hijau dan rantai pasok mineral kritis, Indonesia berupaya menunjukkan nilai tambah yang lebih besar bagi AS di luar komoditas tradisional. Hal ini diharapkan dapat menciptakan keseimbangan dalam hubungan dagang dan meminimalisir dampak negatif dari kebijakan tarif impor.
Upaya diplomasi tingkat tinggi, dikombinasikan dengan strategi diversifikasi kerja sama ekonomi, menunjukkan komitmen Indonesia untuk menjaga hubungan yang konstruktif dengan AS. Meskipun tantangan masih ada, langkah-langkah proaktif ini menunjukkan upaya Indonesia untuk mencari solusi yang berkelanjutan dan menjaga kepentingan ekonomi nasional di tengah dinamika perdagangan global. Keberhasilan strategi ini akan bergantung pada efektivitas negosiasi dan kemampuan Indonesia untuk menawarkan nilai tambah yang sesuai dengan kepentingan AS. Perjuangan Indonesia untuk menavigasi dampak kebijakan tarif Trump ini merupakan studi kasus yang menarik tentang bagaimana negara berkembang beradaptasi dengan perubahan politik ekonomi global.