Jakarta, 5 Mei 2025 – Ketua Komisi XII DPR RI, Bambang Patijaya, dalam keterangan persnya Senin lalu, memaparkan secara komprehensif potensi dan kendala program hilirisasi yang tengah digenjot pemerintah. Program yang menyasar 28 komoditas strategis di delapan sektor utama ini diyakini sebagai kunci bagi kemajuan ekonomi Indonesia, namun juga dihadapkan pada sejumlah tantangan yang memerlukan solusi terintegrasi.
Bambang menekankan bahwa hilirisasi bukan sekadar kebijakan ekonomi sektoral, melainkan strategi jangka panjang untuk meraih kedaulatan sumber daya alam (SDA) dan membangun fondasi ekonomi nasional yang kuat. Ia menggarisbawahi keberhasilan program ini dalam menciptakan nilai tambah domestik, membuka lapangan kerja berkualitas, dan memperkuat pengawasan atas kekayaan alam Indonesia. Proyeksi pertumbuhan ekonomi yang signifikan, khususnya dari sektor nikel, semakin memperkuat argumen tersebut. Nikel, misalnya, diprediksi akan menciptakan 180.000 lapangan kerja baru dan menambah Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar US$ 15,8 miliar pada tahun 2030. Potensi serupa juga diharapkan dari komoditas lain, seperti kelapa sawit, yang berperan penting dalam strategi hilirisasi nasional.
Lebih jauh, Bambang menyerukan agar hilirisasi diangkat sebagai gerakan nasional yang melibatkan seluruh komponen bangsa. “Ini bukan semata soal industri, tapi soal arah masa depan bangsa,” tegasnya. Menurutnya, kesadaran kolektif dan perspektif yang sama dari seluruh lapisan masyarakat sangat krusial untuk mewujudkan kemandirian dan kemajuan Indonesia melalui program ini. Landasan hukum yang kuat, menurutnya, telah terbangun sejak disahkannya Undang-Undang Minerba tahun 2009, yang kemudian diperkuat melalui revisi UU No. 3 Tahun 2020 dengan pelarangan ekspor bijih mineral mentah. Pembentukan Satgas Hilirisasi dan Ketahanan Energi di bawah kepemimpinan Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, juga menunjukkan komitmen pemerintah yang serius dalam menjalankan program ini.
Namun, di balik potensi besar tersebut, Bambang juga mengakui adanya sejumlah tantangan signifikan yang perlu diatasi secara proaktif. Ia menjabarkan beberapa kendala utama yang menghambat percepatan hilirisasi, antara lain:
-
Keterbatasan Infrastruktur: Ketidaksesuaian infrastruktur pendukung, seperti jalan, pelabuhan, dan jaringan listrik, menjadi penghambat utama dalam pengembangan industri hilir. Minimnya aksesibilitas dan konektivitas di beberapa wilayah menyulitkan proses pengolahan dan distribusi produk.
-
Kesiapan Sumber Daya Manusia (SDM) dan Teknologi: Kekurangan tenaga kerja terampil dan teknologi canggih menjadi kendala dalam mengoperasikan industri hilir yang modern dan efisien. Perlu peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan vokasi untuk menghasilkan SDM yang kompeten dan mampu menguasai teknologi terkini.
-
Regulasi yang Tumpang Tindih: Regulasi yang kompleks dan tumpang tindih di berbagai kementerian dan lembaga seringkali menimbulkan ketidakpastian dan menghambat investasi. Penyederhanaan dan sinkronisasi regulasi menjadi sangat penting untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif.
-
Kelemahan Sistem Logistik dan Kawasan Industri: Sistem logistik yang belum efisien dan kurangnya pengembangan kawasan industri terpadu meningkatkan biaya produksi dan mengurangi daya saing produk Indonesia di pasar global. Pengembangan infrastruktur logistik yang terintegrasi dan pembangunan kawasan industri yang terencana dengan baik sangat diperlukan.
-
Minimnya Peran Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM): Akses pembiayaan yang terbatas dan kesulitan dalam memasuki rantai pasok industri hilir membuat UMKM kesulitan untuk turut serta dalam program ini. Dukungan pemerintah berupa akses permodalan, pelatihan, dan pendampingan bisnis sangat penting untuk memberdayakan UMKM dan meningkatkan peran mereka dalam hilirisasi.
-
Tekanan Global terhadap Pengurangan Emisi Karbon: Komitmen global untuk mengurangi emisi karbon menuntut pengembangan industri hilir yang ramah lingkungan. Industri hilir harus dirancang dan dioperasikan dengan memperhatikan prinsip keberlanjutan lingkungan dan efisiensi energi.

Untuk mengatasi tantangan tersebut, Bambang mendorong kolaborasi antarsektor dan lintas kementerian. Koordinasi yang efektif antara pemerintah, sektor swasta, dan akademisi sangat penting untuk mempercepat pembangunan infrastruktur, memperkuat regulasi, dan menciptakan iklim investasi yang inklusif dan berkelanjutan. Ia juga menekankan pentingnya:
-
Digitalisasi Industri: Penerapan teknologi digital dalam proses produksi dan manajemen dapat meningkatkan efisiensi, produktivitas, dan daya saing industri hilir.