Jakarta, 17 April 2025 – Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kembali melancarkan serangan frontal terhadap Universitas Harvard, kali ini dengan ancaman pencabutan status bebas pajak. Ancaman tersebut merupakan eskalasi terbaru dari perselisihan yang bermula dari penolakan Harvard terhadap tuntutan pemerintah AS terkait penanganan demonstrasi pro-Palestina di kampus. Langkah ini menambah tekanan signifikan terhadap salah satu universitas ternama dunia tersebut, menyusul pembekuan dana hibah federal senilai US$ 2,3 miliar (sekitar Rp 38,64 triliun dengan kurs Rp 16.803) yang telah dijatuhkan sebelumnya.
Konflik ini berakar pada serangkaian demonstrasi mahasiswa yang terjadi di berbagai kampus AS pada tahun 2024, sebagai respons terhadap konflik Israel-Palestina yang meletus pasca serangan Hamas di Israel dan balasan serangan Israel di Gaza. Pemerintahan Trump, dalam pandangannya, menganggap demonstrasi-demonstrasi tersebut sebagai tindakan anti-Amerika dan antisemit, bahkan menuduh ratusan universitas turut menyebarkan ideologi Marxisme dan "kiri radikal". Tuduhan ini menjadi landasan bagi kebijakan pemerintah untuk menghentikan aliran dana hibah dan kontrak federal jangka panjang kepada perguruan tinggi yang dianggap tidak kooperatif.
Ancaman pencabutan status bebas pajak Harvard diutarakan Trump melalui media sosial pada Selasa (15 April 2025). Meskipun Trump tidak merinci mekanisme pencabutan tersebut, ancaman ini jelas berpotensi menimbulkan dampak finansial yang sangat besar bagi universitas tersebut. Dalam unggahannya, Trump menyatakan sedang mempertimbangkan langkah ini sebagai respons atas penolakan Harvard terhadap tuntutan pemerintah dan "pendukung pembelajaran yang bersifat politis, ideologis, dan mendukung teroris". Pernyataan ini semakin memperjelas sikap keras Trump terhadap apa yang ia anggap sebagai penyimpangan ideologis di kampus-kampus AS.
Lebih jauh, tuntutan pemerintah AS terhadap Harvard tidak hanya sebatas pembatasan dana. Seperti yang disampaikan Sekretaris Pers Gedung Putih, Karoline Leavitt, dalam konferensi pers pada Selasa (15 April 2025), Trump juga menuntut permintaan maaf resmi dari pihak Harvard atas penolakan mereka terhadap tuntutan sebelumnya. Leavitt menegaskan bahwa tuntutan pemerintah merupakan upaya pencegahan antisemitisme terhadap mahasiswa Yahudi Amerika. Dengan menolak tuntutan tersebut, Harvard, menurut pandangan pemerintah, dianggap turut serta mendukung tindakan antisemitisme di lingkungan kampus.
"Bapak Presiden dengan tegas mengatakan mereka harus mengikuti kebijakan federal. Dia juga ingin melihat Harvard meminta maaf, dan Harvard harus meminta maaf," tegas Leavitt dalam konferensi pers yang disiarkan oleh BBC. Pernyataan ini menggarisbawahi dimensi politik dan ideologis dari konflik ini, yang melampaui sekadar masalah pendanaan. Pemerintahan Trump secara eksplisit mengaitkan penolakan Harvard dengan dukungan terhadap tindakan yang dianggap merugikan komunitas Yahudi Amerika.
Langkah-langkah represif yang diambil oleh pemerintahan Trump terhadap Harvard dan ratusan universitas lainnya menimbulkan pertanyaan serius mengenai kebebasan akademik dan kebebasan berekspresi di AS. Kritik muncul dari berbagai kalangan, yang mempertanyakan apakah tuntutan pemerintah tersebut merupakan upaya yang sah untuk mencegah antisemitisme atau justru merupakan bentuk intervensi politik yang berlebihan terhadap otonomi perguruan tinggi. Banyak yang berpendapat bahwa pemerintah AS tidak memiliki kewenangan untuk mendikte kebijakan akademik dan kebebasan berpendapat di kampus.
Penolakan Harvard terhadap tuntutan pemerintah, meskipun berisiko menimbulkan konsekuensi finansial yang berat, juga bisa diinterpretasikan sebagai bentuk pembelaan terhadap kebebasan akademik dan hak mahasiswa untuk berekspresi. Universitas tersebut mungkin berpendapat bahwa tuntutan pemerintah terlalu luas dan membatasi ruang diskusi dan debat kritis di lingkungan kampus. Sikap Harvard ini mencerminkan dilema yang dihadapi banyak universitas di AS dalam menghadapi tekanan politik yang semakin meningkat.
Konflik antara Harvard dan pemerintahan Trump menyoroti polarisasi politik yang semakin tajam di AS. Peristiwa ini bukan hanya sekadar perselisihan antara pemerintah dan sebuah universitas, tetapi juga mencerminkan perdebatan yang lebih luas mengenai kebebasan akademik, kebebasan berekspresi, dan peran pemerintah dalam pendidikan tinggi. Dampak jangka panjang dari konflik ini, termasuk potensi pencabutan status bebas pajak Harvard, masih belum dapat diprediksi, namun jelas akan memiliki implikasi signifikan bagi dunia pendidikan tinggi di AS dan seterusnya. Ke depan, perkembangan kasus ini akan terus menjadi sorotan tajam bagi media internasional dan pengamat politik, mengingat potensi implikasi luasnya terhadap prinsip-prinsip demokrasi dan kebebasan akademik. Perdebatan mengenai batas-batas intervensi pemerintah dalam dunia pendidikan tinggi dan bagaimana universitas dapat menjaga otonomi akademiknya di tengah tekanan politik akan terus berlanjut.