Sukoharjo, Jawa Tengah – Suasana haru dan getir menyelimuti kompleks pabrik Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) di Sukoharjo, Jawa Tengah, pada Jumat (28/2/2025). Hari-hari terakhir operasional pabrik tekstil yang pernah berjaya itu menjadi saksi bisu kepergian ratusan, bahkan ribuan, buruh yang telah mengabdikan puluhan tahun hidupnya di sana. Tanggal 1 Maret 2025, sebuah tonggak sejarah kelam bagi Sritex dan para pekerjanya, menandai berakhirnya era keemasan perusahaan yang pernah menjadi kebanggaan industri tekstil nasional. Putusan pailit dari Pengadilan Negeri (PN) Niaga Semarang telah menjadi kenyataan pahit yang tak terelakkan.
Udara di sekitar pabrik terasa berat, dipenuhi dengan aroma campuran benang, kain, dan kesedihan yang terpancar dari raut wajah para buruh. Langkah kaki mereka yang meninggalkan kompleks pabrik terasa berat, seakan membawa beban masa depan yang tak menentu. Beberapa terlihat menunduk, matanya berkaca-kaca, sementara yang lain mencoba tegar meski raut wajah mereka tak mampu menyembunyikan kepiluan. Mereka membawa kenangan, pengalaman, dan mungkin juga sedikit penyesalan, meninggalkan tempat yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidup mereka selama bertahun-tahun.
Para buruh yang keluar dari gerbang pabrik tak hanya membawa barang-barang pribadi. Banyak di antara mereka terlihat membawa kotak atau amplop berisi koas – selembar kertas yang penuh dengan tanda tangan rekan-rekan kerja sebagai kenangan dan simbol persaudaraan yang telah terjalin selama bertahun-tahun. Koas-koas itu menjadi bukti nyata ikatan kekeluargaan yang tercipta di tengah kerasnya persaingan dan tuntutan pekerjaan di pabrik tekstil raksasa tersebut. Tanda tangan-tanda tangan itu, lebih dari sekadar nama, merupakan representasi dari keringat, air mata, dan tawa yang telah mereka bagi bersama. Masing-masing tanda tangan menyimpan cerita, kisah-kisah kecil yang membentuk sejarah panjang Sritex.
Keheningan yang menyelimuti kompleks pabrik seolah berbisik tentang akhir dari sebuah era. Mesin-mesin yang dulunya berdengung riuh, kini terdiam, menunggu nasib yang belum jelas. Bangunan-bangunan pabrik yang megah, saksi bisu dedikasi dan kerja keras para buruh, kini tampak sunyi dan kosong. Bayangan para pekerja yang berlalu lalang, yang dulu mewarnai setiap sudut pabrik, kini hanya tinggal kenangan.
Kepailitan Sritex bukan hanya pukulan bagi perusahaan, tetapi juga tragedi kemanusiaan yang berdampak luas pada kehidupan para buruh dan keluarganya. Ribuan keluarga kini menghadapi ketidakpastian ekonomi yang mencekam. Bayangan kehilangan mata pencaharian, kesulitan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, dan masa depan anak-anak mereka menjadi beban berat yang harus dipikul. Kehilangan pekerjaan di Sritex bukan hanya sekadar kehilangan penghasilan, tetapi juga kehilangan identitas dan jati diri yang telah melekat selama bertahun-tahun.
Pemerintah daerah dan pemerintah pusat dituntut untuk segera turun tangan memberikan solusi yang komprehensif dan berkelanjutan bagi para buruh terdampak. Program pelatihan vokasi, bantuan modal usaha, dan jaminan sosial menjadi langkah-langkah krusial yang harus segera diimplementasikan. Tidak cukup hanya dengan memberikan pesangon, pemerintah perlu memikirkan strategi jangka panjang untuk memastikan para buruh dapat kembali bangkit dan memulai kehidupan baru.
Kejadian ini juga menjadi pelajaran berharga bagi dunia usaha di Indonesia. Keberhasilan sebuah perusahaan tidak hanya diukur dari keuntungan finansial semata, tetapi juga dari tanggung jawab sosial dan keberlanjutan usaha. Kegagalan Sritex seharusnya menjadi momentum untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem manajemen perusahaan, strategi bisnis, dan kebijakan pemerintah yang terkait dengan industri tekstil.
Kehilangan Sritex bukan hanya kehilangan sebuah perusahaan, tetapi juga kehilangan aset berharga bagi perekonomian nasional. Pabrik yang pernah menjadi tulang punggung perekonomian Sukoharjo dan sekitarnya kini telah meninggalkan jejak kesedihan yang mendalam. Kisah pilu para buruh Sritex menjadi pengingat penting bagi kita semua tentang pentingnya kepedulian sosial, perencanaan yang matang, dan upaya untuk menciptakan iklim usaha yang berkelanjutan dan berkeadilan. Hari-hari terakhir di Sritex bukan hanya akhir dari sebuah pabrik, tetapi juga awal dari perjuangan baru bagi para buruh yang harus beradaptasi dengan realita pahit dan membangun kembali kehidupan mereka dari nol. Semoga kisah ini menjadi pelajaran berharga, bukan hanya bagi Sritex, tetapi juga bagi seluruh stakeholders di industri tekstil Indonesia, agar tragedi serupa tidak terulang di masa mendatang. Harapannya, para buruh Sritex dapat menemukan jalan baru menuju masa depan yang lebih cerah, dengan dukungan penuh dari pemerintah dan masyarakat. Kisah mereka bukan sekadar berita, tetapi sebuah refleksi tentang tantangan dan realita kehidupan buruh di Indonesia.