Jakarta, 15 April 2025 – Bursa Efek Indonesia (BEI) tengah menghadapi tantangan kompleks terkait sepuluh emiten yang terancam dihapus pencatatannya (delisting) dari bursa. Meskipun BEI telah menetapkan tenggat waktu 18 Januari hingga 18 Juli 2025 bagi emiten-emiten tersebut untuk melakukan pembelian kembali saham (buyback) sebelum delisting efektif pada 21 Juli 2025, kenyataannya hanya dua emiten yang sejauh ini menyatakan rencana untuk melakukan buyback. Situasi ini menimbulkan kekhawatiran dan pertanyaan mengenai langkah selanjutnya yang akan diambil BEI.
Direktur Penilaian Perusahaan BEI, I Gede Nyoman Yetna, mengungkapkan bahwa proses delisting ini masih jauh dari kata selesai. BEI masih aktif melakukan serangkaian hearing dengan emiten-emiten yang bersangkutan untuk mendorong mereka melakukan buyback. "Keberhasilan delisting ini sangat bergantung pada pelaksanaan buyback," tegas Nyoman dalam keterangan persnya di Gedung BEI, Selasa (15/4/2025). "Jika tidak ada pihak yang melakukan pembelian kembali saham, maka buyback tidak akan tercapai. Oleh karena itu, kami di BEI tengah fokus mengidentifikasi ultimate beneficial owner (pemilik manfaat utama) dari masing-masing emiten," tambahnya.
Ketidakpastian semakin meningkat mengingat beberapa pengendali efek dari emiten-emiten tersebut sedang menjalani hukuman pidana. Hal ini menyulitkan BEI dalam proses identifikasi dan pendekatan. "Kami berupaya menghubungi baik ultimate beneficial owner maupun pihak yang ditunjuk untuk memenuhi kewajiban buyback," jelas Nyoman. Proses ini, menurutnya, membutuhkan ketelitian dan waktu yang cukup panjang untuk memastikan kepatuhan terhadap regulasi yang berlaku.
Daftar sepuluh emiten yang terancam delisting tersebut meliputi PT Mas Murni Indonesia Tbk (MAMI), PT Forza Land Indonesia Tbk (FORZ), PT Hanson International Tbk (MYRX), PT Grand Kartech Tbk (KRAH), PT Cottonindo Ariesta Tbk (KPAS), PT Steadfast Marine Tbk (KPAL), PT Prima Alloy Steel Universal Tbk (PRAS), PT Nipress Tbk (NIPS), PT Jakarta Kyoei Steel Works Tbk (JKSW), dan PT Panasia Indo Resources Tbk (HDTX). Beberapa di antara emiten ini diketahui tengah menghadapi masalah keuangan yang serius, bahkan ada indikasi pailit.
Kasus PT Hanson International Tbk (MYRX) menjadi sorotan tersendiri. Emiten ini terlibat dalam kasus korupsi Jiwasraya-Asabri yang melibatkan Benny Tjokrosaputro. Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menyita 172.969.221 lembar saham MYRX, atau setara 15,43% dari total saham beredar. Keberadaan saham yang disita ini semakin mempersulit upaya buyback dan menambah kompleksitas proses delisting emiten tersebut.
Dari sepuluh emiten yang terancam delisting, hanya dua yang sejauh ini menyatakan rencana buyback, yaitu PT Panasia Indo Resources Tbk (HDTX) dan PT Jakarta Kyoei Steel Works Tbk (JKSW). Informasi ini diperoleh dari keterbukaan informasi BEI. Minimnya jumlah emiten yang berencana melakukan buyback menimbulkan pertanyaan besar mengenai nasib delapan emiten lainnya dan implikasinya terhadap pasar modal Indonesia.
Situasi ini menggarisbawahi pentingnya pengawasan yang ketat terhadap emiten yang terdaftar di BEI. Keberadaan emiten yang bermasalah dan terancam delisting dapat menimbulkan ketidakpastian dan merugikan investor. BEI, sebagai regulator, memiliki tanggung jawab untuk memastikan terselenggaranya pasar modal yang sehat, transparan, dan tertib.
Langkah-langkah yang diambil BEI, seperti melakukan hearing dan mengidentifikasi ultimate beneficial owner, merupakan upaya untuk memastikan kepatuhan terhadap regulasi dan melindungi kepentingan investor. Namun, proses ini membutuhkan waktu dan upaya yang signifikan. Keberhasilan proses delisting ini akan menjadi tolok ukur efektivitas pengawasan BEI dan kemampuannya dalam menangani emiten yang bermasalah.
Ke depannya, BEI perlu memperkuat mekanisme pengawasan dan memperketat persyaratan bagi emiten yang ingin terdaftar di bursa. Hal ini bertujuan untuk mencegah masuknya emiten yang berpotensi bermasalah dan menjaga kepercayaan investor terhadap pasar modal Indonesia. Transparansi dan akuntabilitas juga menjadi kunci dalam menjaga kepercayaan tersebut. BEI perlu secara terbuka menginformasikan perkembangan proses delisting ini kepada publik dan menjelaskan langkah-langkah yang akan diambil untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Kasus delisting ini juga menjadi pelajaran berharga bagi investor untuk lebih selektif dalam memilih investasi dan melakukan due diligence yang menyeluruh sebelum berinvestasi di pasar modal. Memahami profil dan kinerja emiten secara mendalam dapat membantu investor mengurangi risiko kerugian.
Secara keseluruhan, situasi delisting sepuluh emiten ini menjadi tantangan serius bagi BEI dan pasar modal Indonesia. Langkah-langkah yang tepat dan tegas perlu diambil untuk menyelesaikan masalah ini dan menjaga stabilitas pasar modal. Keberhasilan BEI dalam menangani kasus ini akan menjadi indikator penting bagi kepercayaan investor dan perkembangan pasar modal Indonesia di masa mendatang. Perhatian publik dan pengawasan yang ketat dari berbagai pihak sangat diperlukan untuk memastikan proses delisting ini berjalan sesuai dengan regulasi dan melindungi kepentingan seluruh stakeholder.