San Fransisco, 10 Mei 2025 – Sebuah putusan pengadilan federal yang signifikan telah menghentikan sementara program efisiensi pegawai pemerintah Amerika Serikat (AS) yang kontroversial, yang digagas oleh pemerintahan Presiden Donald Trump dan dijalankan di bawah naungan Departemen Efisiensi Pemerintah (DOGE). Hakim Pengadilan Distrik AS, Susan Illston, dalam keputusannya pada hari Jumat, mengabulkan gugatan yang diajukan oleh serikat pekerja, LSM, dan pemerintah daerah, menetapkan moratorium 14 hari terhadap program pengurangan staf besar-besaran yang dikenal sebagai reductions in force (RIF).
Keputusan ini memberikan pukulan telak terhadap upaya administrasi Trump untuk merampingkan birokrasi federal, sebuah program yang telah menuai kritik luas karena potensinya untuk mengganggu layanan publik dan memicu PHK massal. Putusan Hakim Illston, yang dianggap sebagai yang paling komprehensif dalam menentang reformasi pemerintahan Trump hingga saat ini, secara efektif memblokir pelaksanaan RIF selama dua pekan ke depan, memberikan waktu bagi pihak-pihak yang bertikai untuk bernegosiasi atau menunggu keputusan pengadilan selanjutnya.
Dalam argumennya, Hakim Illston menekankan bahwa Presiden hanya memiliki wewenang untuk melakukan restrukturisasi lembaga federal secara besar-besaran dengan persetujuan eksplisit dari Kongres. "Seperti yang dibuktikan oleh sejarah," tegas Illston dalam putusannya yang dikutip oleh Reuters, "Presiden dapat merestrukturisasi lembaga federal secara luas hanya jika diizinkan oleh Kongres." Ketiadaan persetujuan legislatif tersebut, menurut hakim, menjadi dasar hukum bagi keputusan untuk menghentikan sementara program RIF.
Gedung Putih hingga saat ini belum memberikan tanggapan resmi atas putusan tersebut. Keheningan ini semakin memperkuat spekulasi mengenai dampak politik yang signifikan dari keputusan pengadilan ini, terutama mengingat kontroversi yang melingkupi program efisiensi yang dipimpin oleh Elon Musk, CEO Tesla dan orang terkaya di dunia, yang menjabat sebagai kepala DOGE.
Program efisiensi pemerintah AS, yang diluncurkan pada bulan Februari 2025 atas instruksi Presiden Trump, bertujuan untuk memangkas birokrasi federal dengan cara yang dianggap kontroversial oleh banyak pihak. Trump, melalui DOGE di bawah kepemimpinan Musk, menginstruksikan berbagai lembaga pemerintah untuk mengidentifikasi target PHK massal sebagai bagian dari rencana restrukturisasi yang ambisius. Rencana tersebut mencakup penghapusan peran yang dianggap tumpang tindih, pemangkasan lapisan manajemen yang dinilai berlebihan, dan eliminasi pekerjaan yang dianggap tidak penting. Selain itu, program ini juga berfokus pada otomatisasi tugas-tugas rutin, penutupan kantor lapangan regional, dan pengurangan penggunaan kontraktor luar.
Para penggugat, yang terdiri dari berbagai serikat pekerja, LSM, dan pemerintah daerah, berpendapat bahwa program efisiensi tersebut tidak hanya melanggar hukum karena kurangnya persetujuan Kongres, tetapi juga berpotensi menimbulkan dampak negatif yang signifikan terhadap layanan publik. Mereka menuding pemerintahan Trump telah menciptakan kekacauan di berbagai lembaga pemerintah, mengganggu penyediaan layanan penting bagi masyarakat di seluruh negeri.
"Upaya yang melanggar hukum dari pemerintahan Trump untuk mengatur ulang pemerintah federal telah membuat lembaga-lembaga menjadi kacau, mengganggu layanan penting yang disediakan di seluruh negara kita," demikian pernyataan resmi dari koalisi penggugat yang dirilis setelah putusan pengadilan dibacakan. Pernyataan tersebut menyoroti kekhawatiran akan potensi penurunan kualitas layanan publik, peningkatan beban kerja bagi pegawai yang tersisa, dan dampak negatif lainnya terhadap masyarakat luas.
Putusan Hakim Illston ini bukan hanya kemenangan bagi para penggugat, tetapi juga menjadi sorotan penting mengenai keseimbangan kekuasaan antara eksekutif dan legislatif dalam konteks reformasi pemerintahan. Keputusan ini menimbulkan pertanyaan mendasar mengenai batas-batas wewenang presiden dalam melakukan restrukturisasi besar-besaran terhadap birokrasi federal tanpa persetujuan Kongres.
Moratorium 14 hari yang ditetapkan oleh pengadilan memberikan ruang bagi negosiasi dan kemungkinan revisi terhadap program efisiensi tersebut. Namun, putusan ini juga menunjukkan potensi konflik hukum yang lebih luas dan panjang antara pemerintahan Trump dan pihak-pihak yang menentang program efisiensi yang kontroversial ini. Masa depan program efisiensi pemerintah AS, dan dampaknya terhadap birokrasi federal dan layanan publik, kini menjadi fokus perhatian publik dan para pengamat politik. Perkembangan selanjutnya dari kasus ini akan menentukan apakah program ini akan dilanjutkan dengan revisi, atau sepenuhnya dibatalkan. Perhatian pun tertuju pada respons Gedung Putih dan langkah selanjutnya yang akan diambil oleh pemerintahan Trump dalam menghadapi putusan pengadilan ini. Apakah mereka akan mengajukan banding, atau mencari jalan lain untuk mencapai tujuan efisiensi yang telah ditetapkan? Pertanyaan-pertanyaan ini akan terus menjadi sorotan dalam beberapa pekan mendatang.