Gencatan Senjata Perang Dagang AS-China: Peluang dan Ancaman bagi Ekonomi Indonesia

Gencatan senjata sementara dalam perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China telah memicu gelombang optimisme di pasar global, namun juga menyisakan sejumlah pertanyaan bagi perekonomian Indonesia. Meskipun kesepakatan ini diharapkan meredakan gejolak ekonomi global, Indonesia perlu bersiap menghadapi baik peluang maupun ancaman yang ditimbulkannya. Situasi ini menuntut pemerintah untuk lebih proaktif dan strategis dalam menjaga daya saing ekspor nasional.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, melihat potensi positif dari gencatan senjata ini. Ia memprediksi peningkatan permintaan industri di China akan mendorong peningkatan ekspor Indonesia, khususnya komoditas unggulan. Hal ini akan berdampak positif pada kinerja ekspor secara keseluruhan. Lebih lanjut, pelemahan rupiah diperkirakan akan tertahan, mengurangi tekanan inflasi impor ("imported inflation"). Cadangan devisa pun dapat terjaga karena kebutuhan intervensi untuk menstabilkan rupiah berkurang. Penurunan harga emas, yang selama ini berfungsi sebagai aset aman ("safe haven") di tengah ketidakpastian geopolitik, juga menunjukkan meredanya kekhawatiran akan resesi global.

Pandangan serupa disampaikan oleh pengamat pasar uang, Ibrahim Assuaibi. Ia menilai gencatan senjata, dibarengi dengan meredanya tensi geopolitik antara Israel dan Palestina, menjadi faktor utama penurunan harga emas. Ia juga menunjuk pada kemungkinan penurunan suku bunga oleh bank sentral AS pada Juli mendatang sebagai faktor penentu. Namun, Assuaibi mengingatkan bahwa penguatan dolar AS terhadap mata uang lain diprediksi akan terjadi di masa mendatang, dan penurunan harga emas kemungkinan bersifat sementara. Konflik Rusia-Ukraina yang masih berlangsung, menurutnya, tetap menjadi faktor yang dapat mendorong kenaikan harga emas kembali. Ia memperkirakan rupiah akan tetap berada di kisaran Rp 16.500 per dolar AS.

Meskipun gencatan senjata memberikan secercah harapan, baik Bhima maupun Assuaibi mengingatkan perlunya kewaspadaan. Gencatan senjata ini hanya bersifat sementara, selama 90 hari. Setelah periode tersebut, tarif impor antara AS dan China akan kembali diberlakukan, dengan tarif impor China ke AS sebesar 30% dan tarif impor AS ke China sebesar 10%. Hal ini menunjukkan bahwa perang dagang belum sepenuhnya berakhir, dan ketidakpastian masih membayangi pasar global. Para investor, menurut Assuaibi, masih bersikap waspada terhadap perkembangan selanjutnya.

Ancaman bagi Indonesia muncul dari potensi penurunan daya saing ekspor. Bhima memperingatkan bahwa tarif ekspor China yang lebih rendah ke pasar AS dibandingkan Indonesia dapat mengancam produk ekspor Indonesia, seperti tekstil, alas kaki, dan pakaian jadi. Indonesia, menurutnya, lebih diuntungkan dari sisi permintaan bahan baku mentah dan barang setengah jadi. Dampak terhadap sektor padat karya, khususnya potensi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), akan sangat bergantung pada besarnya tarif yang dikenakan pada produk Indonesia. Jika tarif ekspor China ke AS jauh lebih rendah, maka relokasi industri dari Indonesia ke China menjadi sangat mungkin. Hal ini diperparah oleh fakta bahwa investasi asing, khususnya dari AS dan Eropa, lebih banyak mengalir ke China dibandingkan ke Indonesia. Data realisasi investasi Indonesia pada kuartal pertama 2025 yang mencatat kontraksi -7,4% (q to q) semakin memperkuat kekhawatiran ini.

Gencatan Senjata Perang Dagang AS-China: Peluang dan Ancaman bagi Ekonomi Indonesia

Untuk menghadapi tantangan ini, Bhima mendesak pemerintah untuk lebih agresif dalam melobi AS. Ia menyarankan agar pemerintah memanfaatkan pembaruan Kontrak Karya (IUPK) Freeport dan relaksasi ekspor bijih konsentrat tembaga sebagai leverage dalam negosiasi. Isu Laut China Selatan juga dapat diangkat sebagai bagian dari strategi negosiasi untuk menekan AS agar memberikan tarif yang lebih kompetitif dibandingkan China. Kekhawatiran utama adalah kemungkinan tarif ekspor Indonesia tetap lebih tinggi daripada China (30%), yang dapat menyebabkan peningkatan impor barang dari China, Vietnam, dan Kamboja ke Indonesia. Hal ini, menurut Bhima, berpotensi memicu PHK di sektor padat karya Indonesia, bukan hanya karena sulitnya ekspor ke AS, tetapi juga karena persaingan dengan barang impor yang lebih murah.

Kesimpulannya, gencatan senjata perang dagang AS-China menawarkan peluang bagi Indonesia, terutama dalam peningkatan ekspor komoditas tertentu. Namun, ancaman penurunan daya saing ekspor dan potensi PHK di sektor padat karya juga mengintai. Pemerintah Indonesia perlu mengambil langkah-langkah strategis dan agresif untuk memanfaatkan peluang yang ada dan meminimalisir dampak negatif. Diplomasi ekonomi yang kuat, pemanfaatan leverage yang dimiliki, dan strategi yang tepat untuk menjaga daya saing ekspor menjadi kunci keberhasilan Indonesia dalam menghadapi dinamika ekonomi global yang masih penuh ketidakpastian ini. Kegagalan dalam hal ini dapat berdampak serius pada pertumbuhan ekonomi dan stabilitas lapangan kerja di Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *