Jakarta, 27 Maret 2024 – Di tengah hiruk-pikuk kota Jakarta, di balik tumpukan barang rongsokan yang tak ternilai bagi sebagian orang, tersimpan potensi ekonomi yang cukup menjanjikan. Runendi, seorang pengusaha muda di kawasan Plumpang, Jakarta Utara, membuktikannya. Ia sukses mengelola usaha pengepulan barang bekas, sebuah warisan keluarga yang telah berjalan sejak tahun 2007. Kisah suksesnya ini tak lepas dari kegigihan, strategi bisnis yang cermat, dan dukungan perbankan, khususnya dari BRI.
Runendi meneruskan usaha orang tuanya yang kini telah kembali ke kampung halaman di Indramayu pada tahun 2023. Bermodalkan semangat dan keahlian memilah barang rongsokan, ia menjalankan bisnisnya di sebuah lahan seluas 10×10 meter di rumahnya. Setiap harinya, ia berjibaku dengan tumpukan barang bekas yang jumlahnya bisa mencapai 3 ton, dengan pengeluaran operasional yang tak sedikit. Dalam kondisi ramai, Runendi harus merogoh kocek hingga Rp 2 juta per hari untuk membeli barang dari berbagai sumber, mulai dari penimbang di lokasi hingga pengambilan langsung ke daerah Cilincing dan Warakas, tergantung kesepakatan dengan langganannya.
Keberhasilan Runendi tak hanya bergantung pada kerja keras, tetapi juga kemampuannya dalam memilah dan mengolah barang rongsokan. Ia mampu melihat nilai tambah dari setiap barang, bahkan yang tampak rusak sekalipun. "Mau barang rusak, mau hancur, yang penting mah laku," ujarnya. Ia menjelaskan bahwa tidak semua barang yang tampak masih bagus memiliki nilai jual tinggi. Contohnya, piring melamin yang masih layak pakai, namun sulit dijual karena keterbatasan pengolahan.
Salah satu komoditas yang paling menguntungkan bagi Runendi adalah botol plastik. Bahkan tutup botol pun memiliki nilai jual. Berbeda dengan botol kaca yang permintaannya lebih rendah, sehingga harganya pun lebih murah, sekitar Rp 500 per kilogram lebih rendah dibandingkan botol plastik. Perbedaan ini disebabkan oleh perputaran pasar yang lebih cepat untuk botol plastik, yang lebih banyak dicari oleh pabrik-pabrik pengolah.
Meskipun tidak membatasi jenis barang yang diterima, Runendi tetap selektif. Ia hanya mengambil barang yang memiliki potensi keuntungan. Kejelian dalam melihat peluang ini menjadi kunci keberhasilannya dalam mengelola usaha dengan modal yang terbatas.
Modal usaha menjadi tantangan tersendiri bagi Runendi. Untuk menjaga kelangsungan bisnisnya, ia membutuhkan suntikan dana yang cukup besar. Awalnya, ia mengandalkan pinjaman dari pengepul yang lebih besar, dengan sistem pembayaran yang dipotong dari hasil penjualan barang. Namun, jumlah pinjaman yang bisa didapat melalui cara ini terbatas, hanya sekitar Rp 10 juta.
Untuk mengembangkan usahanya lebih besar, Runendi kemudian melirik Kredit Usaha Rakyat (KUR) BRI. Ia berhasil mendapatkan pinjaman sebesar Rp 50 juta dengan tenor dua tahun. Pengalamannya dengan BRI ternyata telah berlangsung lama, bahkan sejak orang tuanya masih menjalankan usaha. Runendi merasakan manfaat besar dari pinjaman BRI, terutama saat pandemi Covid-19 melanda. "Zamannya Corona dua tahun itu, bank-bank lain pinjamannya disetop. Kalau BRI tetap dikasih, bahkan untuk tagihan beberapa bulan disetop dulu," kenangnya. Hal ini menunjukkan komitmen BRI dalam mendukung UMKM, khususnya di masa krisis.
Ke depan, Runendi berencana untuk membuka cabang usaha di kampung halamannya, Indramayu. Rencana ini penuh tantangan, mengingat perbedaan kondisi pasar antara Jakarta dan Indramayu. Pasar barang bekas di Indramayu tidak seramai di Jakarta, dan proses pengepulan mungkin akan lebih lama. Namun, Runendi optimistis, dengan perkiraan modal awal sekitar Rp 50 juta, ia mampu mengatasi tantangan tersebut.
Dalam menjalankan bisnisnya, Runendi masih mengandalkan transaksi tunai, baik untuk membeli barang maupun mengirim barang ke pengepul yang lebih besar. Meskipun transaksi non-tunai semakin marak, ia masih merasa transaksi tunai lebih praktis, meskipun mengakui adanya risiko seperti lupa mentransfer atau transfer yang gagal.
Namun, Runendi menyadari pentingnya adaptasi terhadap perkembangan teknologi. Untuk mempermudah transaksi perbankan, seperti penyetoran hasil penjualan dan penarikan uang, ia memanfaatkan layanan Agen BRILink yang tersebar di sekitar tempat usahanya. Hal ini menunjukkan kepraktisan dan aksesibilitas layanan perbankan BRI bagi pelaku usaha kecil seperti Runendi.
Sosrowandi, salah satu agen BRILink di Plumpang, membenarkan hal tersebut. Ia sering melayani transaksi para pengepul kecil, termasuk untuk pembayaran tagihan listrik, sewa kontrakan, transfer uang ke kampung halaman, dan pembayaran cicilan KUR BRI. Keberadaan Agen BRILink ini menjadi bukti nyata dukungan BRI dalam memperluas akses layanan keuangan bagi masyarakat, termasuk para pelaku usaha mikro di sektor informal seperti pengepul barang bekas.
Kisah Runendi merupakan contoh nyata bagaimana kegigihan, strategi bisnis yang tepat, dan dukungan perbankan yang memadai dapat mendorong pertumbuhan usaha kecil dan menengah. Ia membuktikan bahwa barang rongsokan yang dianggap sampah oleh sebagian orang, dapat diubah menjadi sumber penghasilan yang menjanjikan, sekaligus menjadi bukti nyata kontribusi UMKM dalam perekonomian Indonesia. Keberhasilannya ini juga menjadi inspirasi bagi para pengusaha kecil lainnya untuk terus berinovasi dan memanfaatkan berbagai peluang yang tersedia.