Jakarta, 27 Maret 2025 – Kehebohan melanda dunia ojek online (ojol) menyusul beredarnya kabar sejumlah pengemudi hanya menerima Bonus Hari Raya (BHR) sebesar Rp50.000. Angka tersebut memicu gelombang protes keras dari para pekerja yang menilai besaran THR tersebut jauh dari layak dan tidak mencerminkan kontribusi mereka. Menanggapi hal ini, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah menyatakan akan segera memanggil pihak aplikator, Gojek dan Grab, untuk meminta klarifikasi dan membahas polemik tersebut.
Pernyataan tersebut disampaikan Menaker Ida Fauziyah seusai menerima sejumlah laporan terkait rendahnya besaran BHR yang diterima para pengemudi ojol. "Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) telah menerima sejumlah laporan dari para pengemudi ojol melalui Satgas di Posko THR. Kami sedang menunggu laporan lengkap, namun kami akan segera memanggil pihak aplikator dalam waktu dua hari ke depan untuk menggali lebih dalam implementasi pemberian BHR ini," tegas Menaker Ida Fauziyah saat ditemui di kantor Kemnaker, Jakarta Selatan, Selasa (25/3/2025).
Langkah tegas Kemnaker ini diambil sebagai respons atas keresahan yang meluas di kalangan pengemudi ojol. Besaran BHR Rp50.000 dianggap tidak adil dan tidak sebanding dengan kerja keras dan risiko yang mereka hadapi setiap hari. Protes ini semakin menguat mengingat BHR, meskipun bersifat imbauan, diharapkan dapat memberikan sedikit keringanan bagi para pekerja menjelang hari raya.
Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer, yang akrab disapa Noel, memberikan penjelasan lebih rinci mengenai polemik ini. Ia menekankan bahwa meskipun BHR bersifat imbauan, niat baik dari pihak aplikator untuk memberikan BHR kepada para pengemudi tetap menjadi hal yang penting. "Yang paling penting adalah adanya kemauan dan niat dari platform digital untuk memberikan bantuan kepada para pengemudi, berapapun jumlahnya," jelas Wamenaker Noel.
Namun, penjelasan Wamenaker Noel justru memicu pertanyaan baru. Ia mengungkapkan bahwa perbedaan besaran BHR yang diterima para pengemudi disebabkan oleh adanya sistem kategorisasi pekerja yang diterapkan oleh pihak aplikator. Pengemudi yang menerima BHR Rp50.000, menurutnya, masuk dalam kategori pekerja paruh waktu atau sambilan.
"Para pengemudi yang menerima BHR Rp50.000 dikategorikan sebagai pekerja part-time, bukan pengemudi yang benar-benar aktif dan menjadikan pekerjaan ini sebagai mata pencaharian utama. Mereka hanya bekerja sambilan," ungkap Wamenaker Noel. "Sebelum adanya program BHR ini pun, mereka memang tidak mendapatkan bonus. Namun, secara moral, platform digital tetap memberikan sesuatu," tambahnya.
Penjelasan ini langsung menuai kritik dari berbagai pihak. Banyak yang mempertanyakan transparansi dan keadilan sistem kategorisasi tersebut. Bagaimana kriteria pekerja paruh waktu ditentukan? Apakah sistem ini objektif dan tidak diskriminatif? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi sorotan tajam mengingat banyak pengemudi ojol yang menggantungkan hidup sepenuhnya dari pekerjaan ini. Mereka bekerja keras setiap hari, menghadapi cuaca ekstrem, dan risiko kecelakaan, namun tetap dikategorikan sebagai pekerja sambilan.
Wamenaker Noel juga menjelaskan bahwa Kemnaker telah melakukan komunikasi langsung dengan pihak aplikator, Gojek dan Grab, untuk mendapatkan klarifikasi terkait hal ini. Pihak aplikator, menurutnya, menjelaskan adanya sistem kategorisasi pekerja dengan lima tingkatan, dan para pengemudi yang menerima BHR Rp50.000 berada di kategori terendah (kategori 4 dan 5). Mereka juga menjelaskan bahwa banyak di antara pengemudi tersebut yang kurang aktif dan baru bergabung beberapa bulan.
"Kami telah menghubungi Gojek dan Grab. Mereka menjelaskan sistem kategorisasi mereka. Pengemudi yang menerima Rp50.000 masuk kategori 4 dan 5, yang berarti mereka adalah pekerja part-time dan kurang aktif," jelas Wamenaker Noel. "Namun, Kemnaker akan tetap berdiskusi dengan pihak aplikator untuk mencari solusi terbaik dan memastikan keadilan bagi seluruh pengemudi ojol," tambahnya.
Meskipun pihak aplikator telah memberikan penjelasan, permasalahan ini belum sepenuhnya terselesaikan. Ketidakjelasan kriteria kategorisasi pekerja dan potensi diskriminasi menjadi poin krusial yang perlu dibenahi. Kemnaker, dalam pertemuan mendatang dengan pihak aplikator, diharapkan dapat memastikan transparansi sistem kategorisasi, mempertimbangkan aspek keadilan dan kesejahteraan para pengemudi, serta mencari solusi yang lebih adil dan layak dalam pemberian BHR. Publik pun menantikan hasil pertemuan tersebut dan berharap agar permasalahan ini dapat diselesaikan secara tuntas dan memberikan kepastian bagi para pengemudi ojol. Pertemuan ini bukan hanya sekedar klarifikasi, tetapi juga menjadi momentum untuk memperbaiki sistem dan memastikan perlindungan bagi pekerja di sektor ekonomi digital yang semakin berkembang pesat ini. Ke depan, diharapkan adanya regulasi yang lebih jelas dan komprehensif untuk melindungi hak-hak pekerja platform digital, termasuk mekanisme yang transparan dan adil dalam menentukan besaran THR atau BHR.