Jakarta, 13 April 2025 – Mantan Presiden Republik Indonesia keenam, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), menyuarakan keprihatinannya yang mendalam terhadap meningkatnya intensitas perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Dalam acara The Yudhoyono Institute di Hotel Grand Sahid, Jakarta, SBY menekankan bahwa eskalasi konflik ekonomi ini bukan hanya permasalahan bilateral, melainkan ancaman serius bagi stabilitas global dan mengalihkan perhatian dunia dari isu-isu krusial lainnya.
Perang dagang yang ditandai dengan saling berbalas tarif impor yang tinggi antara AS dan RRT telah menimbulkan dampak signifikan bagi perekonomian global. AS sebelumnya telah memberlakukan tarif impor yang sangat tinggi terhadap barang-barang impor dari RRT, mencapai angka 145%. Sebagai respons, RRT membalas dengan tarif impor sebesar 125% terhadap produk-produk AS. Indonesia pun turut merasakan dampaknya, dengan tarif impor yang dikenakan mencapai 32%. Negara-negara ASEAN lainnya juga mengalami dampak serupa, dengan tarif yang bervariasi; Kamboja (49%), Vietnam (46%), Thailand (36%), dan Malaysia (24%).
Kekhawatiran SBY bukan tanpa alasan. Beliau melihat bahwa perang dagang ini telah menyerap sebagian besar perhatian para pemimpin dunia, mengurangi fokus mereka terhadap tantangan global yang sama mendesaknya. "Kita cemas, saya cemas, jika perhatian para pemimpin dunia, bukan hanya Amerika Serikat dan Tiongkok, tetapi seluruh pemimpin dunia, semakin teralihkan dari kewajiban internasional lainnya," ujar SBY. Beliau secara khusus menyoroti krisis iklim sebagai ancaman yang semakin nyata dan mendesak. "Ini bukan lagi perubahan iklim (climate change), tetapi krisis iklim (climate crisis)," tegasnya, menekankan urgensi penanganan masalah lingkungan global.
Selain krisis iklim, SBY juga menyoroti pentingnya upaya global dalam mengatasi kemiskinan dan ketimpangan. Menurutnya, perang dagang dan fokus pada power politics yang dipicu oleh konflik AS-RRT telah mengalihkan perhatian dari agenda pembangunan berkelanjutan dan upaya pengentasan kemiskinan. "Semakin kita memusatkan pikiran dan hari-hari kita hanya untuk perang dagang yang berdampak buruk, dan pendekatan dalam mengatasi persoalan regional melalui geopolitik kekuatan, melalui perang, melalui apa yang disebut hard power, maka kita semakin menjauh dari kewajiban global lainnya," papar SBY.
SBY secara implisit mengkritik pendekatan yang terlalu berfokus pada kekuatan (hard power) dalam menyelesaikan konflik internasional. Beliau menekankan pentingnya diplomasi dan kerja sama internasional untuk mengatasi tantangan global, bukan hanya mengandalkan kekuatan ekonomi atau militer. Perang dagang, menurutnya, merupakan contoh nyata bagaimana pendekatan berbasis kekuatan justru dapat memperburuk situasi dan menghambat upaya pencapaian tujuan-tujuan global yang lebih luas.
Sebagai negara yang menganut politik luar negeri bebas aktif, SBY menyerukan agar pemerintah Indonesia tidak tinggal diam di tengah situasi global yang bergejolak ini. Indonesia, menurutnya, memiliki peran penting untuk menyuarakan keprihatinan dan memberikan kontribusi solusi bagi permasalahan global. "Tentu kita harus bisa dengan penuh tanggung jawab, dengan tujuan yang baik, ikut menyampaikan pikiran-pikiran kita," kata SBY. Beliau melihat acara The Yudhoyono Institute sebagai salah satu contoh inisiatif yang dapat berkontribusi dalam meningkatkan kesadaran dan mendorong partisipasi Indonesia dalam mengatasi tantangan global.
SBY menekankan pentingnya peran Indonesia dalam forum internasional untuk mengadvokasi kepentingan negara-negara berkembang dan mendorong solusi-solusi yang adil dan berkelanjutan. Beliau menyarankan agar pemerintah Indonesia aktif dalam berbagai forum multilateral untuk mendorong dialog dan kerja sama antara AS dan RRT, serta mendesak kedua negara adikuasa tersebut untuk mencari solusi damai dan menghindari eskalasi konflik yang lebih lanjut.
Perang dagang AS-RRT, menurut SBY, bukan hanya masalah ekonomi semata, melainkan juga masalah geopolitik yang berpotensi memicu ketidakstabilan regional dan global. Oleh karena itu, Indonesia perlu mengambil peran yang lebih proaktif dalam mendorong penyelesaian damai dan mencegah dampak negatif yang lebih luas terhadap perekonomian global dan pembangunan berkelanjutan.
SBY mengakhiri pernyataannya dengan menyerukan agar Indonesia tidak hanya menjadi penonton pasif dalam dinamika global, tetapi juga sebagai aktor aktif yang berkontribusi pada terciptanya perdamaian, stabilitas, dan kesejahteraan dunia. Beliau berharap pemerintah Indonesia dapat mengambil langkah-langkah konkret untuk mengatasi dampak perang dagang dan berperan aktif dalam forum internasional untuk menyelesaikan konflik dan membangun kerja sama global yang lebih kuat. Pernyataan SBY ini menjadi pengingat penting bagi pemerintah Indonesia dan dunia internasional akan perlunya pendekatan yang lebih holistik dan berkelanjutan dalam menghadapi tantangan global, di luar pendekatan yang hanya berfokus pada kekuatan dan kepentingan ekonomi jangka pendek.