Jakarta, 16 Maret 2025 – Untuk pertama kalinya dalam sejarah, harga emas di Amerika Serikat (AS) melampaui angka psikologis US$ 3.000 per troy ounce. Lonjakan dramatis ini terjadi di tengah gejolak ekonomi global yang dipicu oleh kebijakan perang tarif agresif Presiden Donald Trump dan dampaknya terhadap mitra dagang utama AS. Peristiwa ini menandai babak baru dalam dinamika pasar komoditas dan menegaskan kembali peran emas sebagai aset safe haven di masa ketidakpastian.
Pada awal sesi perdagangan, harga emas spot mencapai puncaknya di US$ 3.004,86 per ons, menorehkan rekor tertinggi sepanjang masa. Namun, pergerakan harga kemudian mengalami koreksi ringan, turun 0,1% menjadi US$ 2.986,26 pada pukul 14.01 waktu setempat. Penurunan ini diinterpretasikan sebagai aksi profit taking oleh para investor yang mengamankan keuntungan setelah lonjakan harga yang signifikan. Sementara itu, harga emas berjangka AS ditutup dengan kenaikan 0,3%, menetap di angka US$ 3.001,10 per ons.
Analis pasar melihat lonjakan harga emas ini sebagai respons langsung terhadap ketidakpastian ekonomi yang mendalam. Perang tarif Trump telah menciptakan gelombang ketakutan di pasar saham global, mendorong investor untuk mencari perlindungan aset yang lebih aman dan stabil. "Investor yang terkepung mencari aset safe haven baru, karena Trump membuat pasar saham bergejolak," ungkap Tai Wong, seorang pedagang logam independen, seperti dikutip dari Reuters.
Emas, secara tradisional, telah lama dianggap sebagai aset lindung nilai yang handal di tengah gejolak geopolitik. Kenaikan harga emas hampir 14% sepanjang tahun 2025 ini sebagian besar didorong oleh kekhawatiran atas dampak negatif perang tarif Trump dan aksi jual besar-besaran di pasar modal. Fenomena ini diperkuat oleh pernyataan Ole Hansen, Kepala Strategi Komoditas Saxo Bank, yang menuturkan, "Para pengelola aset riil, terutama di Barat, membutuhkan pasar saham yang kuat dan ketakutan akan perlambatan ekonomi untuk kembali menggunakan emas – dan itu sedang terjadi sekarang."
Faktor lain yang turut mendorong kenaikan harga emas adalah peningkatan permintaan dari bank sentral global. China, sebagai salah satu pembeli emas terbesar di dunia, terus menambah cadangan emasnya untuk bulan keempat berturut-turut pada Februari 2025. David Russell, CEO GoldCore, menjelaskan bahwa bank sentral dunia semakin gencar melakukan akuisisi emas dalam skala besar sebagai strategi diversifikasi aset, guna mengurangi ketergantungan pada dolar AS yang volatilitasnya semakin meningkat.
Ekspektasi pelonggaran moneter oleh Federal Reserve AS (The Fed) juga memberikan sentimen positif terhadap harga emas. Dengan imbal hasil obligasi yang mendekati nol, emas menjadi alternatif investasi yang menarik. Para pedagang memperkirakan The Fed akan melakukan pemotongan suku bunga pada bulan Juni 2025.
Juan Carlos Artigas, kepala penelitian global di World Gold Council, mengungkapkan beberapa faktor fundamental yang mendukung permintaan emas yang kuat di masa mendatang. "Ada sejumlah alasan bagus mengapa permintaan investasi kemungkinan akan tetap kuat. Meningkatnya risiko geopolitik dan geoekonomi, ekspektasi inflasi yang lebih tinggi, potensi penurunan suku bunga, dan ketidakpastian yang dirasakan pasar," jelasnya.
Proyeksi optimistis juga datang dari Goldman Sachs. Dalam sebuah catatan analisis, Goldman Sachs memprediksi harga emas akan mencapai US$ 3.100 per ons pada akhir tahun 2025, dengan potensi kenaikan hingga US$ 3.300 per ons. Ketidakpastian kebijakan AS, menurut Goldman Sachs, akan terus menjadi katalis utama yang mendukung permintaan emas dari para investor.
Kesimpulannya, lonjakan harga emas hingga menembus level US$ 3.000 per ons merupakan refleksi dari ketidakpastian ekonomi global yang semakin meningkat. Perang tarif Trump, gejolak pasar saham, dan peningkatan permintaan dari bank sentral telah menciptakan kondisi ideal bagi emas untuk berperan sebagai aset safe haven yang diburu oleh para investor. Prospek ke depan pun masih menjanjikan bagi emas, dengan potensi kenaikan harga yang signifikan di tengah ketidakpastian geopolitik dan ekonomi yang masih membayangi perekonomian dunia. Peristiwa ini menjadi pengingat penting bagi para pelaku pasar untuk memperhatikan dinamika geopolitik dan ekonomi global dalam strategi investasi mereka.