Jakarta, 8 Mei 2025 – Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang melambat hingga 4,87% pada kuartal I 2025 telah memicu keprihatinan mendalam dari kalangan pengusaha. Ketua Umum Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi), Akbar Himawan Buchari, mendesak pemerintah untuk segera mengambil langkah konkret guna mengatasi pelemahan ekonomi yang signifikan ini. Dalam siaran persnya hari ini, Buchari menuding lemahnya konsumsi sebagai biang keladi permasalahan tersebut.
"Jika kita cermati data, faktor konsumsi menjadi penyebab utama pertumbuhan ekonomi yang mengecewakan ini," tegas Buchari. Ia menyorot penurunan drastis pada komponen pengeluaran konsumsi pemerintah yang selama ini menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi. Pada kuartal I 2024, komponen ini masih tumbuh sebesar 20,44%, namun pada kuartal I 2025 justru mengalami kontraksi hingga minus 1,38%. Ini menunjukkan penurunan yang sangat signifikan dan mengkhawatirkan.
Lebih lanjut, Buchari juga menyoroti pelemahan pada pengeluaran konsumsi lembaga nonprofit yang melayani rumah tangga (LNPRT). Pertumbuhan LNPRT pada kuartal I 2025 hanya mencapai 3,07%, jauh di bawah angka 24,14% pada periode yang sama tahun lalu. Penurunan ini menunjukkan penurunan daya beli dan aktivitas ekonomi di sektor ini.
Pelemahan juga terlihat pada pengeluaran konsumsi rumah tangga (PKRT), yang merupakan komponen terbesar dalam Produk Domestik Bruto (PDB). PKRT pada kuartal I 2025 hanya tumbuh 4,89%, menurun dibandingkan dengan pertumbuhan 4,91% pada kuartal I 2024. Padahal, PKRT berkontribusi sebesar 54,53% terhadap PDB pada kuartal I 2025. "Konsumsi rumah tangga yang kontribusinya lebih dari 50% terhadap PDB justru melambat. Sederhananya, komponen pengeluaran kita terseok-seok, sehingga membebani pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan," jelas Buchari.
Situasi ini diperparah dengan meningkatnya angka pengangguran. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan peningkatan jumlah pengangguran sebesar 82 ribu orang atau 1,11% sejak Februari 2024, mencapai angka 7,28 juta orang. Kenaikan angka pengangguran ini semakin memperburuk daya beli masyarakat dan memperparah pelemahan ekonomi.
Buchari berpendapat bahwa sinyal-sinyal pelemahan ekonomi sebenarnya telah terlihat sejak periode Idul Fitri lalu. Penurunan jumlah pemudik hingga 24% dan penurunan asumsi perputaran uang hingga 12,28% mengindikasikan penurunan daya beli masyarakat secara signifikan. "Artinya, masyarakat memang tidak memegang uang. Kalaupun ada, ya sedikit. Sehingga mereka menahan untuk membelanjakannya. Tanpa momen Lebaran yang biasanya menjadi penggerak ekonomi, sudah pasti pertumbuhan ekonomi kuartal I 2025 akan jauh lebih lambat dari 4,87%," papar Buchari.
Menyikapi kondisi ekonomi yang memprihatinkan ini, Buchari mendesak pemerintah untuk segera mengambil langkah-langkah strategis dan komprehensif. Ia menekankan perlunya perbaikan iklim investasi secara menyeluruh, termasuk deregulasi yang masif untuk menarik investasi baru dan mendorong pertumbuhan investasi yang sudah ada.
"Pemerintah harus fokus pada realokasi sumber daya program berorientasi jangka pendek yang berdampak langsung pada penciptaan lapangan kerja dan peningkatan daya beli masyarakat. Percepatan belanja pemerintah menjadi kunci untuk menstimulus ekonomi dan mendorong pertumbuhan yang lebih baik," tegas Buchari. Ia menambahkan bahwa langkah-langkah tersebut harus segera diimplementasikan untuk mencegah pelemahan ekonomi yang lebih parah di masa mendatang.
Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa penurunan konsumsi pemerintah dan rumah tangga bukanlah fenomena yang berdiri sendiri. Faktor-faktor lain seperti ketidakpastian ekonomi global, inflasi yang masih tinggi, dan kurangnya kepercayaan konsumen juga turut berperan dalam memperburuk situasi. Oleh karena itu, solusi yang ditawarkan Buchari memerlukan pendekatan yang terintegrasi dan melibatkan berbagai kementerian dan lembaga terkait.
Pemerintah perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap program-program pemerintah yang berkaitan dengan peningkatan daya beli masyarakat dan penciptaan lapangan kerja. Program-program tersebut harus dirancang secara efektif dan efisien, serta mampu menjangkau masyarakat yang membutuhkan. Selain itu, pemerintah juga perlu meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran negara untuk membangun kepercayaan publik.
Deregulasi yang masif juga menjadi kunci untuk menarik investasi asing dan domestik. Biaya dan prosedur perizinan yang rumit dan berbelit-belit seringkali menjadi hambatan bagi para investor. Dengan menyederhanakan regulasi dan prosedur perizinan, pemerintah dapat menciptakan iklim investasi yang lebih kondusif dan menarik bagi para investor.
Langkah-langkah yang diambil pemerintah harus dibarengi dengan upaya untuk meningkatkan literasi ekonomi masyarakat. Masyarakat perlu diberikan pemahaman yang lebih baik tentang pengelolaan keuangan pribadi dan pentingnya berinvestasi. Dengan demikian, masyarakat dapat lebih bijak dalam mengelola keuangannya dan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi nasional.
Kesimpulannya, pelemahan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I 2025 merupakan tantangan serius yang memerlukan respons cepat dan tepat dari pemerintah. Seruan dari Hipmi untuk melakukan perbaikan iklim investasi, deregulasi, dan percepatan belanja pemerintah merupakan langkah-langkah yang perlu dipertimbangkan secara serius. Keberhasilan dalam mengatasi permasalahan ini akan bergantung pada komitmen dan koordinasi yang kuat antar berbagai pihak terkait, termasuk pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat. Kegagalan dalam mengatasi permasalahan ini dapat berdampak negatif pada kesejahteraan rakyat dan stabilitas ekonomi nasional.