Washington D.C. – Sebuah gelombang perlawanan hukum mengguncang pemerintahan Donald Trump menyusul langkah kontroversial mantan Presiden Amerika Serikat tersebut dalam menerapkan tarif impor tinggi terhadap sejumlah komoditas. Dua belas negara bagian di Amerika Serikat secara resmi mengajukan gugatan terhadap kebijakan tersebut ke Pengadilan Perdagangan Internasional AS, menantang kewenangan Trump dan menudingnya telah melanggar konstitusi. Gugatan ini menandai babak baru dalam perdebatan sengit mengenai otoritas eksekutif dalam penetapan kebijakan perdagangan dan implikasinya terhadap perekonomian nasional.
Inti gugatan tersebut berpusat pada klaim bahwa Trump telah bertindak di luar kewenangannya dengan secara sepihak menetapkan tarif impor tanpa persetujuan Kongres. Para penggugat berpendapat bahwa kebijakan tersebut, yang berdampak signifikan terhadap perekonomian negara bagian mereka, seharusnya melalui proses legislatif yang semestinya, melibatkan perdebatan dan persetujuan dari parlemen AS. Mereka menekankan prinsip pemisahan kekuasaan yang menjadi landasan sistem pemerintahan Amerika Serikat, dimana kewenangan untuk mengatur perdagangan internasional seharusnya tidak terpusat secara absolut di tangan presiden.
Lebih lanjut, gugatan tersebut mempertanyakan penggunaan Undang-Undang Kekuatan Ekonomi Darurat Internasional (International Emergency Economic Powers Act/IEEPA) tahun 1970 sebagai dasar hukum penerapan tarif tersebut. Para penggugat berargumen bahwa IEEPA, yang dirancang untuk menghadapi ancaman luar biasa dan tidak biasa terhadap keamanan nasional, kebijakan luar negeri, atau ekonomi AS, tidak pernah dimaksudkan dan tidak pernah digunakan sebelumnya oleh presiden manapun untuk mengatur tarif impor. Mereka menilai penerapan IEEPA oleh Trump sebagai penyalahgunaan wewenang yang berbahaya dan berpotensi merusak sistem hukum dan pemerintahan Amerika Serikat.
Gugatan tersebut secara eksplisit menuduh Trump telah “menjungkirbalikkan tatanan konstitusional dan membawa kekacauan pada ekonomi Amerika.” Para penggugat, yang mewakili beragam kepentingan ekonomi dan politik, menganggap kebijakan tarif impor tinggi tersebut telah menimbulkan kerugian ekonomi yang signifikan bagi negara bagian mereka, mengakibatkan peningkatan harga barang, penurunan daya saing, dan gangguan terhadap rantai pasokan. Mereka berharap pengadilan akan membatalkan kebijakan tarif tersebut dan menegaskan kembali prinsip supremasi hukum dalam penetapan kebijakan perdagangan.
Respon dari Gedung Putih terhadap gugatan tersebut terbilang keras dan defensif. Juru bicara Gedung Putih, Kush Desai, menolak tuduhan penyalahgunaan wewenang dan sebaliknya menuduh Jaksa Agung New York, Letitia James, yang turut terlibat dalam gugatan tersebut, memiliki motif politik untuk melemahkan Presiden Trump. Desai menegaskan bahwa pemerintahan Trump (pada saat itu) berkomitmen untuk menggunakan semua kewenangan hukum yang tersedia untuk menghadapi apa yang disebutnya sebagai “keadaan darurat nasional.”
Desai merujuk pada beberapa isu sebagai pembenaran penerapan kebijakan tarif tersebut, termasuk “momok migrasi ilegal dan aliran fentanil melintasi perbatasan kita, maupun defisit perdagangan barang AS tahunan yang meledak.” Pernyataan ini menunjukkan bahwa pemerintahan Trump berusaha untuk membenarkan kebijakan tarif tersebut dengan menghubungkannya dengan isu-isu keamanan nasional dan ekonomi makro, meskipun argumen ini dipertanyakan oleh para penggugat.
Gugatan ini bukan hanya perselisihan hukum semata, tetapi juga mencerminkan perdebatan ideologis yang lebih luas mengenai peran pemerintah dalam mengatur ekonomi dan perdagangan internasional. Pihak yang mendukung kebijakan Trump berpendapat bahwa tarif impor merupakan instrumen yang sah untuk melindungi industri domestik dan mengatasi ketidakseimbangan perdagangan. Mereka mungkin berargumen bahwa tindakan tegas diperlukan untuk menghadapi persaingan yang tidak adil dari negara lain.
Di sisi lain, para penentang kebijakan tersebut, termasuk para penggugat dalam kasus ini, menekankan pentingnya perdagangan bebas dan persaingan yang sehat. Mereka berpendapat bahwa tarif impor dapat merugikan konsumen, mengurangi efisiensi ekonomi, dan memicu perang dagang yang merugikan semua pihak. Mereka juga menekankan pentingnya menjaga keseimbangan kekuasaan antara eksekutif dan legislatif dalam sistem pemerintahan demokrasi.
Hasil dari gugatan ini akan memiliki implikasi yang luas terhadap kebijakan perdagangan AS dan hubungan internasional. Keputusan pengadilan akan memberikan preseden penting mengenai otoritas presiden dalam menetapkan tarif impor dan penggunaan IEEPA. Jika pengadilan memutuskan mendukung para penggugat, hal tersebut akan membatasi wewenang eksekutif dalam kebijakan perdagangan dan menegaskan kembali peran Kongres dalam proses pengambilan keputusan. Sebaliknya, keputusan yang mendukung Trump akan memperkuat otoritas presiden dalam hal ini dan berpotensi membuka jalan bagi penerapan kebijakan proteksionis yang lebih agresif di masa depan.
Kasus ini juga akan menjadi ujian penting bagi sistem peradilan AS dalam menjaga keseimbangan antara efisiensi pemerintahan dan perlindungan hak-hak konstitusional. Pengadilan akan dihadapkan pada tugas yang kompleks untuk menafsirkan konstitusi dan undang-undang yang relevan, serta mempertimbangkan dampak ekonomi dan politik dari keputusan mereka. Oleh karena itu, perkembangan kasus ini akan terus dipantau dengan seksama oleh para pengamat hukum, ekonomi, dan politik di seluruh dunia. Keputusan akhir dari Pengadilan Perdagangan Internasional AS akan memiliki konsekuensi yang jauh melampaui batas-batas Amerika Serikat, mempengaruhi dinamika perdagangan global dan hubungan antara negara-negara di dunia.